***
Saya menunggu berada dalam antrean. Menunggu giliran untuk memberi ucapan selamat. Di barisan belakang. Bersama para tamu undangan lainnya yang sebagian besar saya kenal.
Di sela menunggu, saya melihat Menko PMK Prof. Muhajir Effendi. Dia menjadi salah satu saksi dalam acara pernikahan itu. Usai ijab kabul, Muhajir terlihat surprise ketika melihat Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN yang pernah lama memimpin Jawa Pos, datang bersama istrinya, Nafsiah Sabri.
“Wah, ini guru menulis saya. Apa kabar,” ucap Muhajir, lalu menyalami dan memeluk Dahlan.
Kedua tokoh itu pun berbincang ramah. Muhadjir berkali-kali memuji Dahlan sebagai tokoh pers yang konsisten. Tulisan-tulisannya menginspirasi banyak orang. “Kalau menulis belajar dengan beliau ini,” ucap Muhadjir.
Mendengar pujian tersebut, Dahlan tidak menjawab selain hanya melempar senyum yang ramah.
Saya lalu mendekati kedua tokoh tersebut. Muhadjir lalu meninggalkan lokasi setelah beberapa kali berfoto bersama para undangan yang hadir.
Dahlan Iskan masih bertahan di masjid. Saya lantas menghampirinya. Di tengah beberapa orang yang ingin berfoto dengannya.
“Pak Bos (begitu Dahlan Iskan karib disapa),” tegur saya, lalu mencium tangannya.
Semula saya menduga dia lupa. Karena lebih 20 tahun saya tak bertemu dirinya. Dahlan Iskan adalah sosok penting dalam karier jurnalistik saya. Ketika bergabung dengan Suara Indonesia, tahun 1997, wawasan saya terbuka karena sering mendengar nasihatnya.
Suatu malam, saya pernah semobil bareng Dahlan Iskan. Waktu itu, dia masih menjadi bos Jawa Pos. Dahlan meminta saya ditemani ke pabrik kertas di Semengko, Gresik. Pabrik kertas milik Jawa Pos itu dibangun tahun 2002. Di bawah manajemen PT Adiprima Suraprinta.
Malam itu, Dahlan mengenakan baju putih, celana warna gelap. Seperti kebiasaannya, bajunya dibiarkan di luar celana. Dahlan memakai sepatu kets putih yang terlihat agak kumal. Di wajah dan rambutnya masih menempel bulir-bulir air. Entah habis mandi atau baru mengambil air wudu. Kumis dan janggutnya tercukur bersih.
Kami berangkat dari Graha Pena yang berlokasi di Jalan A Yani, Surabaya. “Sudah, tas kamu biar di sini. Nanti juga kembali,” ucap Dahlan, sesaat setelah melihat saya mau mengambil tas ransel yang biasa saya pakai liputan.
Jarum spidometer menunjuk angka hampir 95 km/jam. Saat menyetir, tangan kiri Dahlan mengutak-atik tunning radio. Saya baru tahu itulah kebiasaan yang kerap dia lakukan ketika nyetir mobil. Yang paling dia suka mendengarkan dialog interaktif.
Banyak hal yang kami perbincangkan bersama Dahlan. Dari urusan politik, bisnis, dan pengalaman jurnalistik. Dalam pembicaraan, Dahlan mengutip beberapa hadis lalu diterjemahkan artinya.
Belakangan saya tahu, Dahlan berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya tidak dibebani macam-macam hal. Yang terpenting bagi sang ayah, Dahlan kecil bisa ngaji, khatam Al-Qur’an, dan sekolah di madrasah.