Masifnya gerakan mereka dengan berbagai model dakwah yang ditawartakan mau tidak mau duo ormas besar Islam Indonesia menjadi korbannya.
NU misalnya, sebagai organisasi besar juga mendapatkan dampak dari gerakan ini, meski jika dibandingkan Muhammadiyah tidak sebanding.
“Jadi kalau tumbuhnya komunitas-komunitas Salafi, mungkin kalau NU hanya kehilangan beberapa anggota yang ikut mereka. Tapi kalau Muhammadiyah kehilangan anggota dan asetnya,” paparnya.
Lebih lanjut dalam diskusi itu, Savic Ali menguraikan, waktu itu NU dan Muhammadiyah belum begitu melek dalam urusan online. Sehingga dari situ-lah terpikirkan untuk menginisiasi dan membuat website NU Online.
Namun kendati demikian, di Muhammadiyah beruntung sekali memiliki tokoh hebat sekelas Prof. Haedar Nashir yang mampu menakhodai organisasi besar di Indonesia sehingga mampu mengambil langkah yang tepat soal gerakan itu.
“Saya kira Muhammadiyah dengan Pak Haedar Nashir mengambil jalan dan keputusan yang sangat tepat dengan melakukan konsolidasi dan revitalisasi. Saya tidak membayangkan kalau kemudian di Muhammadiyah tidak ada langkah-langkah itu,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, Prof. Haedar Nashir adalah sosok yang mampu menavigasi Muhammadiyah di era keterbukaan baru pada saat itu. Di mana semua itu sangat menentukan laju Muhammadiyah hingga hari ini.
“Saya menganggap bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi yang memainkan peran penting dalam sejarah demokrasi di Indonesia, bukan hanya dalam konteks sejarah keagamaan,” sebut Savic Ali.