Demikian juga apa yang terjadi di dalam gerakan dakwah di daerah-daerah terpencil. Banyak mubaligh yang direkrut oleh sebuah organisasi internasional tertentu dan ditempatkan di ranting atau cabang Muhammadiyah, tetapi tidak mau mendakwahkan pemahamanan Muhammadiyah.
Lebih parah lagi, di lapangan mereka berlawanan dengan muballigh Muhammadiyah setempat dan lebih menanamkan manhaj yang kontradiksi dengan putusan Tarjih.
Sesungguhnya tugas dakwah keumatan menjadi amanah semua golongan (umat Islam) dari berbagai kelompok.
Tetapi menjadi persoalan baru ketika kelompok ini menjadi ‘bunglon’, satu waktu Ia mendadak (mengaku) ikut dahan dan ranting yang Ia hinggapi. Tetapi pada kesempatan yang sama, dia berubah wujud menjadi ”benalu’ ‘yang mencari perlindungan sambil hinggap menggerogoti dahan, sehingga sewaktu-waktu jika ada kesempatan Ia akan merusak pohon hingga akarnya.
Maka agar jalur dakwah Islam tidak saling sikut, berbuah mudlorot hingga perpecehan antar umat, ada baiknya kelompok Ultra-Kons, Salafi dalam berbagai varianya mengambil prinsip dalam Istilah fiqih yang mafhum di kalangan mayoritas Islam :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Dar ul mafaasit Muqaddamu ‘alaa jalbil mashalih’
” Menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan”.
Dalam konteks dakwah Islam Indonesia yang kaya akan khazanah budaya dan warisan para pendahulu, hendaknya segala hal yang bersifat ibadah ghoiru mahdoh (tidak wajib) disesuikan dengan falsafah Jawa,: ‘Kabeh kudu empan papan lan panggonan’
Segala hal harus dilakukan dengan memahami tempat dan tata cara yang berlaku di daerah tertentu.
Sedangkan segala hal yang bersifat ibadah mahdoh (wajib) telah jelas termaktub dalam Al-Qur’an sebagai panduan umat sepanjang hayat.
Wallohul mus ta’aan. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News