Namun, di sisi lain, hadis-hadis Nabi saw memberikan pengecualian terhadap prinsip ini. Hadis riwayat Muslim dan al-Bukhari menyatakan bahwa seseorang dapat memperoleh pahala dari perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain atas nama mereka, seperti anak yang mendoakan kedua orang tuanya atau seseorang yang melunasi hutang orang lain kepada Allah.
Pandangan ulama tentang badal haji sangatlah bervariasi. Sebagian menganggap bahwa hadis-hadis yang bersifat mendukung badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan oleh karena itu, badal haji tidak dapat dijalankan.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut dapat mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga badal haji tetap dapat dilakukan.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap hadis-hadis dalam konteks badal haji.
Mereka memandang bahwa hadis-hadis ahad dapat mengkhususkan (takhsis) atau menjelaskan (bayan) ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengubah pemahaman terhadap prinsip bahwa seseorang hanya akan memperoleh pahala dari usahanya sendiri.
Pandangan Majelis Tarjih ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim yang menyatakan bahwa amal baik yang dilakukan atas nama seseorang, seperti doa anak yang saleh untuk kedua orang tuanya, adalah pengecualian dari prinsip bahwa amal seseorang terputus setelah meninggal dunia.
Dalam konteks ini, hadis tersebut dianggap sebagai penjelas atau pengecualian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.
Sebagai hasilnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyimpulkan bahwa badal haji dapat diterapkan bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji namun tidak dapat melaksanakannya karena alasan fisik atau alasan lainnya, atau bahkan bagi yang telah meninggal dunia.
Dalam kasus seperti ini, anak atau saudara yang telah melaksanakan haji dapat menjalankan ibadah haji atas nama mereka.