***
Yang ekstrim bisa dilihat dari tahdzir Abdurahman Ibnu Muljam Al maqri: Di-tahdzir-lah Sayidina Ali krwjh karena ada beberapa putusan dan kebijakan politiknya dianggap menyimpang dan jauh dari Islam.
Sayidina Ali ra dikafirkan, dihalalkan darahnya, kemudian dibunuh usai salat subuh di bulan Ramadan.
Kata menjelang dibunuhnya Sayidina Ali krwjh adalah:
“Hukum itu milik Allah Wahai Ali, bukan milikmu dan para sahabatmu. Ia membunuh dengan belati sambil membaca surat Al Imran: 206. Sebab membunuh sayidina Ali ra dianggapnya ibadah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207].
Baca juga: Varian Salafi: Ilmi, Manhaji, Jihadi, dan Takfiri
Juhayman al Uthaibi kurang lebih sama. Dia juga gemar men-tahdzir. Raja Saudi, Gamal Presiden Mesir hingga Imam Masjidil Haram pun di-tahdzir. Selama tiga hari Masjidil Haram pun disandera. Dia pun dipancung.
***
Problem teologis dan psikologis urap menjadi satu. Tak ada salah tidak bersetuju. Tak ada salah menyampaikan pendapat atau hujjah yang lebih kuat dan sahih agar kebenaran tidak terhijab.
Khilaf adalah sunatullah. Para ulama berikhtilaf tentang banyak hal sudah seribu tahun lebih tapi mereka tetap saling menghormati dan tidak saling meninggalkan apalagi hingga memutus silaturahmi karena tahdzir.
Kenapa para ustaz para alim tidak memberi teladan yang baik kepada umat ketika berikhtilaf?
Perbedaan itu biasa, adab baik yang utama. Khilaf akan terus ada hingga hari Kiamat. Akhlak baik kita junjung tinggi.
Baca juga: Tanyakan Pada Salafi: Apakah Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Juga Haram?
Bukankah sesama Mukmin bersaudara dan dianjurkan saling mencintai dan tak perlu Anda katakan bahwa: menyampaikan kebenaran, mengingatkan agar tidak subhat adalah bagian dari cinta sesama mukmin meski dengan kata menyakitkan penuh tahdzir.
Syaikh Shalih Al ‘Ustaimin berkata: “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Ibnu Al Mubarok berkata: Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”