Dengan demikian, zaman Nabi Muhammad mulai diadakan ketetapan /pembaharuan dimana haji digabungkan dengan umroh sampai hari kiamat.
Dalam Haji terdapat tiga model pelaksanaannya, yakni haji Ifrad, Qiran dan Tamattu’. Pelaksanaan haji hanya tertentu saja (tanggal 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah)
Saat menjadi Khalifah, Umar pernah melarang haji Tamattu’ karena dalam konteks waktu itu, orang berhaji bercampur dengan berumrah di musim haji di bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.
Sementara nabi menggabungkan haji dan umroh dalam satu waktu.
Dalam pandangan Umar,
Umrah di musim haji adalah dosa besar karena mencampurkan keduanya dan berpotensi besar melakukan pelanggaran.
Oleh karenanya, Aisyah pernah menangis karena menstruasi saat melakukan ritual haji. Namun nabi memerintahkan untuk terus melanjutkan hingga wukuf. Ini berarti Aisyah haji tanpa umrah.
Padahal pengalaman Aisyah, nabi melakukan umrah haji dalam satu paket (Qiran). Untuk menyempurnakannya, Abdurrahman bin Abu Bakar (saudaranya) mengantarkan Aisyah melaksanakan umroh. Haji dan umroh model inilah disebut haji Ifrad.
Ada pun haji Tamattu’ adalah melakukan haji diawali dengan umrah dulu. Pelaksanaan haji Tamattu’ ini merupakan pelanggaran sehingga terkena dam dengan menyembelih (hadyu).
Dalam konteks ini terkena dam bukan karena pelanggaran tetapi karena tidak melakukan prosedur yang seharusnya, yalniumroh dan haji secara berurutan.
Pelanggaran dan Dam
Mereka yang melanggar pelaksanaan ibadah haji terkena Dam.
Dam dikenakan karena melanggar, seperti sakit, gatal-gatal dan menggaruk-garuk kepala sehingga rontok.
Pelanggaran haji seperti ini terkena denda dengan kewajiban puasa, sedekah, atau sembelih.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT berikut:
وَاَ تِمُّوا الْحَجَّ وَا لْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِ نْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَا نَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖۤ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَا مٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِ ذَاۤ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِا لْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلٰثَةِ اَيَّا مٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَا مِلَةٌ ۗ ذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَا ضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَـرَا مِ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا ب
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang bukan penduduk Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.”
(QS. Al-Baqarah : 196)