Aisyiyah Harus Hadir Menjadi Al Harakah Al Washatiyah
Resepsi Milad ke-106 Aisyiyah di UAD Yogyakarta.

Gerakan dakwah Muhammadiyah yang kemudian melahirkan gerakan organisasi sayap perempuan pada 1917 merupakan fenomena modernisme yang tidak lazim di masa itu. Mengingat pada masa tersebut perempuan tampil di ruang publik saja dianggap tidak lazim.

Ini merujuk pendapat Prof. Mukti Ali tentang fenomena gerakan perempuan Islam Aisyiyah. Lahirnya Organisasi gerakan perempuan di masa itu dianggap sebagai sebuah keanehan.

Tapi itulah satu lompatan dari Aisyiyah, lompatan yang luar biasa. Maka, tidak mengherankan jika kemudian Aisyiyah bersama organisasi perempuan lintasiman pada 1928, menyelenggarakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta.

Milestone gerakan perempuan tersebut lahir dari state of mind yang tajdid. Dan tidak bisa dibayangkan kalau saat itu Aisyiyah tidak hadir, lalu organisasi yang lain juga hadir termasuk Muslimat dan SI. Kemudian akan terjadi perubahan semacam ini.

Namun peran besar yang telah dijalankan oleh organisasi perempuan Islam Berkemajuan ini seakan dipinggirkan. Kenyataan tersebut sungguh disayangkan. Padahal yang dilakukan oleh organisasi gerakan perempuan di masa itu melampaui batas masanya.

Kiya harus ingat peristiwa Kongres Muhammadiyah di Surabaya pada 1926. Ketika itu Nyai Siti Walidah berpidato di depan para kaum laki-laki. Momen tersebut adalah sejarah penting bagi perempuan Indonesia.

Tapi kita kan melihat Nyai Walidah Dahlan melihatnya hanya sebagai istri dari Kiai Ahmad Dahlan. Padahal beliau juga seorang sosok yang memiliki karakter khas, yang sampai tahun 1946, sebelum beliau wafat masih terus memainkan peran untuk pembaharuan.

Model gerakan perempuan Aisyiyah yang dilahirkan oleh Muhammadiyah adalah bentuk gerakan perempuan yang autentik dengan kekhasan Indonesia. Yang memiliki kesamaan dasar nilai hidup dengan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa.

Jadi, kalau ada gerakan-gerakan perempuan yang copy paste dari dunia lain yang kemudian diterapkan di sini, ini kemudian tidak pas. Yang pendekatannya selalu antagonistik, mempertentangkan satu struktur dengan struktur lain: perempuan dengan laki-laki.

Perbedaan tidak harus kemudian dipertajam dengan saling dipertentangkan. Gerakan perempuan dari dunia lain erat pengaruhnya dari pandangan Marxisme dan neo-Marxisme.

Termasuk di sisi yang lain, muncul gerakan antitesis dari itu, yaitu gerakan perempuan yang serba konservatif.

Pandangan-pandangan neo-konservatif baik yang mengatasnamakan agama itu akan menjadi jebakan baru bagi gerakan perempuan, termasuk di tubuh gerakan keagamaan.

Melihat munculnya gerakan perempuan yang serba konservatif tidak bisa dilepaskan dari konteks munculnya gerakan liberalisme, sekularisme, globalisasi dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan perempuan Islam konservatif  kembali ke masa lampau ini menjebak.

Maka dibutuhkan gerakan perempuan Islam yang moderat. Pandangan keislaman yang moderat atau tengahan sebagaimana Aisyiyah, bisa berdialog dengan kelompok kanan dan kiri.

Perempuan tengahan ini diharapkan mampu berbuat yang terbaik untuk kemanusiaan. Antara kutub-kutub ekstrem, Aisyiyah harus hadir menjadi Al Harakah Al Washatiyah, gerakan tengahan yang memberi alternatif bukan yang konservatif.

Aisyiyah Harus Hadir Menjadi Al Harakah Al Washatiyah
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga bersama Ketua Aisyiyah Salmah Orbayinah.

Melakukan Tajdid Gerakan

Gerakan yang dilakukan oleh organisasi perempuan masa kini harus melakukan tajdid, karena mengingat masih terdapat banyak tantangan salah satunya adalah diskriminasi dan marginalisasi.

Dalam konteks Indonesia, kesetaraan masih berada pada ranah kebijakan dan belum sampai pada implementasi. Pemikiran tajdid harus menjadi state of mind dan diimplementasikan menjadi gerakan.

Gerakan inklusif yang dimiliki Aisyiyah sejak awal harus dilestarikan, bahwa gerakan organisasi ini bermanfaat bagi semuanya tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan.

Pasalnya, di era globalisasi dan modernisasi sekarang, masyarakat semakin terfragmentasi yang memunculkan kesadaran-kesadaran lokal. Kencenderungan tersebut melahirkan ketegangan antara lokal tertentu dengan yang lain dan saling diperhadapkan.

Melalui Risalah Perempuan Berkemajuan, diharapkan Aisyiyah hadir di garda terdepan, praksis sosial dan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Aisyiyah sampai pada level daerah dan desa-desa harus terus dikapitalisasi untuk menyelesaikan dan mencari solusi kesenjangan.

Maka kami memberikan penghargaan tinggi kepada kader-kader Aisyiyah dan Muhammadiyah di bawah di pelosok-pelosok terjauh, yang hadir dengan ketulusan dan pengkhidmatan di tengah segala keterbatasan dari Aceh sampai Papua, dan seluruh kawasan.

Banyak tempat-tempat di mana kader-kader, anggota Muhammadiyah-Aisyiyah yang berkhidmat untuk bangsa dengan ketulusan.

Di sisi lain, bagi penggerak Persyarikatan di pusat yang diberikan kemudahan supaya tidak terninabobokan oleh segala kemudahan.

Melainkan kemudahan yang didapatkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengubah keadaan umat, rakyat dan bangsa secara terus menerus, sehingga mereka menjadi termulia kan baik dalam sistem budaya dan relasi sosial. (*)

(Disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam Resepsi Milad ke-106 Aisyiyah di UAD Yogyakarta, 19 Mei 2023)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini