*) Oleh: Dr. Slamet Mulino Redjosari
Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jatim
Nabi Ibrahim merupakan sosok agung sekaligus teladan yang dijadikan rujukan kaum muslimin yang menyembelih hewan kurban. Sebagai bapak tauhid, Nabi Ibrahim mendharmabaktikan seluruh hidupnya untuk merealisasikan nilai-nilai tauhid.
Berkurban bagi umat Islam merupakan syariat yang merujuk pada ritual Nabi Ibrahim yang melaksanakan perintah Allah sebagai realisasi mimpi.
Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putra tercintanya, sebagai bentuk ujian padanya sekaligus sebagai bukti atas penghambaan yang tulus-ikhlas.
Inilah yang disebut kurban profetik, karena berkurban sebagai bentuk penghambaan untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa tujuan lain yang bersifat duniawi.
Berkurban seperti ini bukan hanya mengagungkan Tuhan sebagai pencipta manusia yang mulia, tetapi membebaskan manusia dari penghambaan dunia yang mendegradasi dirinya ke tempat yang rendah dan hina.
Nabi Ibrahim dan Ujian Berat
Nabi Ibrahim sudah teruji lulus dari berbagai macam cobaan berat. Dalam berbagai ujian sebelumnya, Nabi Ibrahim berhasil menyelesaikannya dengan sempurna.
Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menegakkan tauhid dengan mendakwahkan kepada orang tuanya, hingga menyampaikan kepada raja yang dzalim, Namrud. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah itu hingga mengalami ancaman berupa pengusiran hingga percobaan pembunuhan.
Nabi Ibrahim juga menikah, dan cukup lama menunggu kelahiran anak. Pada saat lahir anak itu, Nabi diperintahkan untuk meninggalkannya. Istri dan anaknya ditinggalkan di suatu lembah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan dan manusia satu pun.
Setelah berhasil menyelesaikan tugas itu, Nabi Ibrahim pun menerima perintah baru. Perintah itu lebih berat daripada sebelumnya. Perintah kali ini berupa mimpi menyembelih putra kesayangannya yang baru tumbuh memasuki masa remaja.
Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya (Ismail). Mimpi seorang nabi merupakan wahyu, dan itu dilaksanakan dengan penuh penghambaan. Nabi Ibrahim pun lulus dalam mejalankan perintah itu.
Lulusnya berbagai ujian berat itu menjadikan Allah memberi penghargaan agung kepada penegak tauhid itu. Allah memberi penghargaan berupa pujian agung hingga disebut sebagai bapak para nabi.
Hal itu ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَاِ ذِ ابْتَلٰۤى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَ تَمَّهُنَّ ۗ قَا لَ اِنِّيْ جَا عِلُكَ لِلنَّا سِ اِمَا مًا ۗ قَا لَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَا لَ لَا يَنَا لُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.”
Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah : 124)
Ketika diberi gelar mulia dari Allah, Nabi Ibrahim masih bercita-cita agung, dan meminta kepada-Nya agar anak keturunannya diberikan keagungan pula. Pada saat itu Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar anak cucunya dibebaskan dari perbuatan zalim. Hal ini terekam dengan baik sebagaimana firman-Nya :
رَبَّنَا وَا جْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَـكَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِنَاۤ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ ۖ وَاَ رِنَا مَنَا سِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّا بُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak-cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 128)
Nabi Ibrahim menginginkan anak cucunya agar menjadi hamba yang berserah diri kepada Allah secara totalitas. Dikatakan totalitas karena Nabi Ibrahim tahu diri bahwa hanya kepada Allah saja yang pantas untuk dipertuhankan. Manusia pantas untuk menghambakan diri kepada Allah tanpa mempersekutukan dengan tuhan lain yang sangat tidak seimbang.
Penyimpangan Tauhid
Kalau Nabi Ibrahim totalitas dalam menghambakan diri kepada Allah, namun generasi berikutnya justru melakukan hal yang sebaliknya. Mgenerasi sesudahnya bukan hanya tidak bertauhid, tetapi mengadakan tandingan penyembahan kepada tuhan selain Allah.
Padahal Allah yang memberi semua fasilitas kehidupan beserta rizkinya. Namun sebagian besar manusia justru menyembah kepada berhala selian Allah. Salah satu indikasinya, mereka menyisihkan sebagian hartanya kepada sesembahan mereka, bukan bersedekah di jalan Allah.
Hal itu diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَيَجْعَلُوْنَ لِمَا لَا يَعْلَمُوْنَ نَصِيْبًا مِّمَّا رَزَقْنٰهُمْ ۗ تَا للّٰهِ لَـتُسْـئَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُوْنَ
“Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, kamu pasti akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan.” (QS. An-Nahl : 56)
Perbuatan di atas merupakan kekafiran yang nyata. Betapa tidak, Allah yang memberi segalanya kepada mereka, namun perbuatan maksiat justru dipertontonkan. Rizki yang seharusnya untuk bersedekah dan diperuntukkan jihad di jalan Allah, justru disisihkan untuk menutup jalan menuju Allah.
Manusia menganggap jalan yang mereka tempuh sebagai kebaikan dan akan mendatangkan manfaat. Namun Allah justru tidak menganggapnya sebagai kebaikan tetapi justru menghapusnya dari daftar perbuatan baik.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
مَثَلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ اَعْمَا لُهُمْ كَرَمَا دِ ٱِشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيْحُ فِيْ يَوْمٍ عَا صِفٍ ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ مِمَّا كَسَبُوْا عَلٰى شَيْءٍ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الضَّلٰلُ الْبَعِيْدُ
“Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim : 18)
Banyak di antara mereka mengira bahwa jalan yang ditempuh akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan, tetapi Allah menghilangkan jejak itu dan menganggap sebagai debu yang tertiup angin kencang.
Artinya perbuatan yang dianggap baik itu tidak mendapat balasan apa pun kecuali hanya kebaikan di dunia, seperti kesuksesan hidup, pujian dan popularitas belaka.
Namun di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan apa-apa. Hal ini disebabkan tidak mengagungkan Allah sebagaimana layaknya.
Nabi Muhammad pun pernah ditanya oleh istrinya, Aisyah bin Abu Bakar tentang amalan kebaikan Abdullah bin Jud’an yang sangat bermanfaat bagi masyarakatnya, apakah memberikan kebaikan ketika di akhirat.
Abdullah bin Jud’an merupakan manusia dermawan dan suka memberi makan kepada orang dengan jamuan yang sangat mewah dan besar. Dia juga suka menjamu tamu dengan penyambutan yang istimewa.
Rasulullah pun menjawab bahwa amalan Abdullah bin Jud’an tidak memberi manfaat pada dirinya ketika di ekherat karena dia tidak pernah mengagungkan Allah selama hidupnya.
Di sinilah pentingnya mengenal petunjuk. Alquran membedakan manusia yang memperoleh petunjuk dengan mereka yang buta dari petunjuk.
Hal ini bisa diilustrasikan dengan perbedaan orang yang bisa melihat dengan terang benderang dengan orang yang buta dan gelap terhadap lingkungan sekitarnya.
Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
اَفَمَنْ يَّعْلَمُ اَنَّمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَـقُّ كَمَنْ هُوَ اَعْمٰى ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَ لْبَا بِ
“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal yang dapat mengambil pelajaran,” (QS. Ar-Ra’d : 19)
Orang yang terbuka mata hatinya akan melakukan amalan kebaikan. Mereka menegakkan keadilan, memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain serta senantiasa mempertimbangkan baik buruk dalam setiap pikiran dan perilakunya.
Sementara bagi mereka yang buta petunjuk akan melakukan apa saja sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsunya. Mereka berbuat nista, dzalim, hingga berani mengganggu dan merampas hak orang lain.
Bahkan mereka menghalalkan perbuatan terlarang dan membolehkan perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Alquran merekam adanya penyesalan para pelaku kejahatan yang bekerja secara totalitas.
Mereka mengalokasikan dananya untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran, sehingga mereka sangat panik. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
لِلَّذِيْنَ اسْتَجَا بُوْا لِرَبِّهِمُ الْحُسْنٰى ۗ وَا لَّذِيْنَ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَهٗ لَوْ اَنَّ لَهُمْ مَّا فِى الْاَ رْضِ جَمِيْعًا وَّمِثْلَهٗ مَعَهٗ لَا فْتَدَوْا بِهٖ ۗ اُولٰٓئِكَ لَهُمْ سُوْٓءُ الْحِسَا بِ ۙ وَمَأْوٰٮهُمْ جَهَـنَّمُ ۗ وَبِئْسَ الْمِهَا دُ
“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman mereka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ar-Ra’d : 18)
Atas perbuatan jahat itu, Allah memberi ganjaran berupa neraka jahannam yang menjadi tempat tinggal. Allah membalas semua perbuatan sesuai dengan amal perbuatannya.
Bagi yang berbuat baik, akan mendapatkan surga. Sementara mereka yang berbuat jahat maka mereka akan mendapatkan siksaan pedih di akherat.
Manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan apa yang diinginkannya. Namun Allah memiliki parameter sendiri untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk.
Allah memiliki catatan yang tertulis rapi dan detail yang nantinya disampaikan kepada manusia sebagai bahan bukti dan penguat data.
Hal itu sekaligus sebagai catatan amal yang akan menjadi penentu manusia menempati tempat yang membahagiakan atau menyuramkan mereka.
Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰ نٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِ ۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَا لِ ذَرَّةٍ فِى الْاَ رْضِ وَلَا فِى السَّمَآءِ وَلَاۤ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَاۤ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Alquran serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya.
Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di Bumi maupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS. Yunus : 61)
Allah mencatat semua perbuatan manusia, baik yang kecil maupun yang besar, yang disengaja atau disadari. Artinya, Allah mencatat semua perbuatan sekecil apa pun, termasuk jatuhnya daun kering dari pohonnya.
Daun kering yang jatuh dari pohonnya saja tercatat dengan baik, tentu perbuatan manusia akan lebih berhak dicatat.
Bagi manusia yang bertauhid akan cerdas dan pintar dalam memanfaatkan petunjuk yang masuk ke dalam hatinya. Mereka akan tergerak untuk untuk memproduksi kebaikan dan menginginkan hal itu terus berlangsung tanpa putus hingga akhir hayatnya.
Sementara bagi mereka yang tidak mendapatkan petunjuk, akan melakukan apa saja tanpa memperhitungkan nasibnya. Padahal yang demikian akan membuat dirinya terlempar ke dalam neraka.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana nfirman-Nya:
ذٰلِكَ مِمَّاۤ اَوْحٰۤى اِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ فَتُلْقٰى فِيْ جَهَنَّمَ مَلُوْمًا مَّدْحُوْرًا
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu (Muhammad). Dan janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela dan dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Isra’ : 39)
Dalam konteks berkurban, umat Islam semestinya merujuk pada apa yang dilakukan Nabi Ibrahim. Beliau berkurban hingga mau menyembelih putra kesayangannya, semata-mata digerakkan oleh nilai tauhid.
Itulah namanya kurban profetik. Kurban profetik dilakukan sebagai refleksi atas penghambaan diri secara tulus ikhlas dengan mengharap ridha Allah dengan mengorbankan apa yang dicintainya.
Kurban profetik menjauhkan niat-niat lain yang bersifat dunia. Tidak sedikit manusia yang berkurban untuk mendapatkan popularitas, ketenaran atau menginginkan namanya dikenal luas di tengah masyarakat.
Nilai tauhid bukan hanya menggerakkan manusia untuk berbuat baik secara tulus ikhlas dan menghilangkan niat-niat lain yang mencemarkan nilai-nilai tauhid. (*)