Makna Sukses Di Balik Ibadah Kurban
Ilustrasi: wordofprophet.com

Oleh: Noor Hudawan Noor Hudawan M.Pd.I
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Pagi ini kita bersimpuh bersama menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala dengan membesarkan Asma-Nya dengan tanpa menyekutukan-Nya.

Gemuruh takbir, tahmid, dan tahlil bergema di seluruh penjuru dunia hanyalah mengagungkan asma Allah semata karena mengharap Ridho-Nya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Hari ini tepat 10 Dzulhijjah, adalah hari besar umat Islam yang diberi nama Idul Kurban. Id mempunyai makna kembali, sedangkan Kurban dari kata qaraba yang bermakna mendekat. Sehingga Idul Kurban bermakna kembali pada posisi sangat dekat bersama Allah SWT.

Setiap insan hidup di muka bumi ini senantiasa mendambakan kesuksesan demi mendampingi seluruh urusan hidupnya. Namun siapa yang tahu dan peduli bahwa makna kesuksesan itu butuh standardisasi dari lingkungan sosialnya, lebih lebih dari Tuhan-Nya, Tuhan Yang Satu, yakni Allah SWT.

Islam sebagai agama yang sangat concern terhadap kehidupan sosial dan selalu mendampingkan unsur keimanan dengan amal saleh, memberikan batasan contoh berperilaku apa pun hanya pada Rasulullah SAW.

Kalau pun tidak mendefinisikan yang demikian itu adalah karena keimanan, namun penelitian sosial kemasyarakatan membuktikan bahwa sunah nabi senantiasa menduduki posisi paling efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan umat manusia.

Aisyah ummul mukminin pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah dan beliau menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ) رواه أحمد(

“Adalah akhlak beliau Alquran.” (HR.Ahmad)

Kita paham benar tentang sejarah bahwa saat awal Allah menugaskan Rasulullah SAW, saat itu dunia Arab sama sekali tidak pernah diperhitungkan keberadaannya.

Yang ada dalam percaturan dunia hanyalah Bizantium Romawi dan Persia. Arab hanyalah terkesan daerah tertinggal secara ekonomi maupun spiritual.

Bagaikan tempat pedagang pedagang miskin tanpa peradaban dan tanpa keterhormatan. Namun keberadaan Rasulullah telah mengubah segalanya. Bahkan Islam pernah memimpin dunia selama hampir sembilan abad lamanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Rasulullah bersama Alquran menapaktilasi contoh contoh manusia kuat dan sukses sebagaimana telah dikabarkan Allah dalam Surah Al Baqarah 124:

وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰۤ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَـٰتࣲ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّی جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامࣰاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّیَّتِیۖ قَالَ لَا یَنَالُ عَهۡدِی ٱلظَّـٰلِمِینَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna.

Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.”

Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah menjadikan Ibrahim AS sebagai “Pemimpin Seluruh Manusia”. Dan yang memberi definisi adalah Sang Pencipta seluruh alam jagad raya ini.

Bahkan Ibrahim AS juga memohon pada Allah agar anak turunnya mendapat kesempatan yang sama seperti dirinya.

Sedangkan fenomena yang sekarang ada di sekitar kita adalah, demikian padat dan banyaknya manusia ingin menjadi pemimpin manusia. Mulai dari kepemimpinan lingkup kecil, yakni RT, RW, Lurah hingga tingkatan Presiden sebuah Negara.

Namun mereka lupa akan tata cara mengekalkan kepemimpinannya sebagaimana diajarkan oleh Allah melalui para nabi-Nya.

Mereka lupa bahwa untuk menggapai derajat pemimpin yang sesungguhnya itu dibutuhkan kesempurnaan dalam melaksanakan semua ujian, dan menghindarkan diri dari prilaku zalim atas sesamanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Jamaah yang disayangi Allah, pada ayat yang lain, yakni Surah An-Naḥl: 120 Allah berfirman:

إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hānīf. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah).”

Rupa-rupanya, keteladanan dalam kebaikan, kepatuhan pada Allah, dan tidak menyekutukan Allah inilah tiga modal dasar yang memberikan kesuksesan Ibrahim AS untuk menjadi pemimpin manusia semuanya.

Dan kita tahu benar bahwa kriteria sebagaimana yang Ibrahim AS lakukan adalah hal yang sangat mudah, namun semudah itu pula dikhianati manusia.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Dalam sebuah tulisan yang penuh makna mendalam Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Al Hasanah wa as-Sayyi’ah (Baik–Buruk), dengan mendasarkan pada Surah An – Nisa 4:79:

مَّاۤ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةࣲ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَاۤ أَصَابَكَ مِن سَیِّئَةࣲ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولࣰاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِیدࣰا

“Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.”

Beliau memaparkan bahwa ayat ini bukan hanya sekadar ayat motivasi bagi seorang Muhammad Rasulullah dalam melaksanakan uswah dalam dakwahnya, namun sepenuhnya memberikan batas tegas akan makna apa saja yang berpredikat baik itu dari Allah. Sedangkan perilaku manusia yang tidak sesuai dengan sunah akan berbuah keburukan.

Oleh karenanya sebagaimana Ibrahim mendapat perintah harus meletakkan istrinya Hajar dan putra satu-satunya yang ia sayangi bernama Ismail AS di lembah Bakkah (Mekah), maka yang terlintas dalam benak Ibrahim AS adalah “Bahwa dirinya mendapat karunia kebaikan dari Allah SWT.”

Sehingga tidaklah berlebihan bila Allah SWT memujinya dan memilihnya menjadi pemimpin manusia semuanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Jamaah yang disayangi Allah, tergambar jelas bahwa dalam melaksanakan kepatuhannya, Ibrahim AS pun tidak dibiarkan tanpa penguatan dari sisi Allah SWT.

Lihatlah Ibrahim yang tetap melaksanakan amaliah sosial dengan sebaik baiknya dengan meminta pendapat pada Ismail AS, karena bagaimana pun ujian itu bersangkut paut dengan kehidupan, dengan hati dan keimanan putranya.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡیَ قَالَ یَـٰبُنَیَّ إِنِّیۤ أَرَىٰ فِی ٱلۡمَنَامِ أَنِّیۤ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ یَـٰۤأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِیۤ إِن شَاۤءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِینَ

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”

Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Surah Aṣ-Ṣāffāt: 102)

Pernyataan Ismail AS yang sungguh di luar perkiraan dan di luar rata-rata manusia lain inilah yang memberi penguatan jiwa Ibrahim untuk semakin melaksanakan tugas ujian dari Allah SWT.

Kalaulah saja kita bandingkan dengan keberadaan kita hari ini, sungguh merupakan keadaan yang antagonis, kalau pun tidak mau dikatakan menyimpang.

Lihatlah banyaknya orang tua yang tidak berani menempatkan putra-putrinya pada pendidikan pesantren hanya karena alasan sangat menyayangi buah hatinya.
Bahkan banyak dari kita orang tua yang memberikan pendidikan yang benar benar terlepas dari konsep keagamaannya.

Lihatlah anak anak kita yang sepulang sekolah masih kita haruskan mengikuti privat pelajaran yang sesungguhnya di sekolah telah mereka pelajari. Padahal TPA/TPQ di masjid dan musala di sekitar rumah kita sepi

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Jamaah sekalian yang dirindukan surga Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ

“Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman : Siapa yang memusuhi waliku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya.

Tidak ada taqarrub-nya seorang hamba kepada-Ku yang lebih aku cintai kecuali dengan beribadah dengan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.

Dan hambaku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunah di luar yang fardhu) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan.

Jika dia meminta kepadaku niscaya akan aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.” (Riwayat Bukhori)

Kalaulah Allah tidak mengumumkan perang untuk kita karena kita tidak memerangi para walinya, paling tidak kita berharap agar Allah membimbing kita dalam cinta-Nya hingga Allah berkenan membimbing pendengaran, penglihatan juga tangan dan kaki kita.

Sehingga jika kita meminta kepada-Nya niscaya akan Ia kabulkan dan jika kita minta perlindungan dari-Nya niscaya akan Allah melindungi.

Sedangkan untuk mencapainya, sekali lagi butuh meneladani Ibrahim AS sebagaimana yang Rasulullah lakukan sebagai suri teladan bagi kita semuanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Para jamaah sekalian, marilah kita berdoa pada Allah agar kiranya Ibadah qurban yang kita persembahkan juga pendekatan pada-Nya diterima oleh Allah SWT. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini