Kekafiran umumnya dibangun di atas keangkuhan, dan keangkuhan akan runtuh dengan argumentasi profetik. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran para utusan Allah, di mana argumen mereka sangat kokoh hingga melemahkan keangkuhan para pelakunya.
Nabi Ibrahim telah membuktikan runtuhnya argumen raja Namrud yang mengaku dirinya tuhan. Ketika dia mengaku bisa menghidupkan dan mematikan, kemudian Nabi Ibrahim menantang dia untuk menerbitkan matahari dari Barat.
Hal itu dilakukan Nabi Ibrahim untuk membuktikan pengakuan Namrud bahwa dirinya tuhan. Namrud pun terdiam bungkam, hingga kehilangan cara untuk berargumentasi.
Ketika hilang argumentasi itu, keluarlah sok kuasa dia, hingga memerintahkan agar Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup.
Kekokohan Tauhid
Tauhid yang kokoh akan meruntuhkan argumen manusia yang memberhalakan kekuasaan. Para nabi dan rasul dengan argumen profetiknya bisa meruntuhkan kekuasaan yang dzalim.
Nabi Ibrahim menjadi bukti kekuatan argumennya ketika menghadapi kedzaliman Namrud yang bertindak kejam dengan begitu mudahnya membunuh orang yang dipandang membahayakan kekuasaannya.
Ketika Nabi Ibrahim mengajarkan tauhid dan mengajaknya untuk mengakui kekuasaan Allah, Namrud pun mengaku dirinya berkuasa dengan menghidupkan dan mematikan makhluk.
Dia pun membuktikan hal itu dengan mendatangkan dua orang, yang satu dipenggal lehernya (sebagai buktinya bisa mematikan), dan satunya dibiarkan hidup (sebagai bukti bisa menghidupkan. Dia pun mengatakan bahwa dia bisa menghidupkan dan mematikan.
Nabi Ibrahim tak kurang akal. Dia mengajukan argumen bahwa Tuhan yang sebenarnya bisa menerbitkan dan menenggelamkan matahari.
Oleh karenanya, Nabi Ibrahim meminta Namrud untuk memindahkan terbitnya matahari dari barat. Mendapatkan tantangan itu, Namrud terdiam dan kehilangan argumen. Hal itu ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَآ جَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖۤ اَنْ اٰتٰٮهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَا لَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُ ۙ قَا لَ اَنَاۡ اُحْيٖ وَاُ مِيْتُ ۗ قَا لَ اِبْرٰهٖمُ فَاِ نَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِا لشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗ وَا للّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan).
Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.”
Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah : 258)
Di sini kecerdasan Nabi Ibrahim yang terbimbing oleh petunjuk Allah, sehingga meruntuhkan argumentasi orang-orang yang menyombongkan diri, dan lupa dirinya sebagai makhluk yang lemah tapi sok berkuasa dan semena-mena.
Iman dan cahaya
Allah sebagai pemilik cahaya kebenaran senantiasa memberikan kepada hamba-Nya sebagian cahaya kebenaran atas penghambaan yang kuat. Dengan cahaya Allah, manusia bisa keluar dari kegelapan menuju jalan terang.
Sebagai pelindung, Allah menjadi kunci lahirnya cahaya sehingga bisa mengeluarkan manusia dari jalan buntu yang membuat manusia jatuh dalam kegelapan sehingga terhina.
Sebaliknya mereka yang memilih kegelapan dan membuang cahaya tidak lain diarahkan oleh setan sebagai sumber kesesatan. Hal ini dinarasikan Alquran sebagai berikut:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ۗ وَا لَّذِيْنَ كَفَرُوْۤا اَوْلِيٰۤــئُهُمُ الطَّا غُوْتُ ۙ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِ ۗ اُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).
Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 257)
Orang kafir berjalan di atas kegelapan, otaknya dirundung kegelapan ketika menolak di depan matanya muncul kebenaran.
Ketika Allah menginginkan seluruh hamba-Nya meniti cahaya kebenaran, maka muncul jalan pikiran lain yang mengarahkan kepada jalan kegelapan. Menuju jalan gelap ini dipandu oleh setan sebagai sang pelindung pikiran dan hati yang suram.
Beda halnya dengan orang beriman. Ketika diterangkan asal usul dirinya diciptakan dari mani, air yang menjijikkan. Air yang yang menjijikkan itu ternyata bisa berwujud menjadi manusia yang mulia, hingga Allah memilihnya sebagai khalifah.
Alih-alih menyembah dan mengabdi kepada Allah, sebagian besar manusia justru menjauh dari Allah. Bahkan tidak sedikit yang justru mengagungkan selain Allah dengan memberhalakan patung, atau benda-benda lain yang jauh lebih rendah kedudukannya.
Demikian pula ketika Allah menunjukkan keajaiban-Nya, dimana tanah yang awalnya tandus kemudian tersiram air, sehingga menjadi subur. Bagi mereka yang mendapat cahaya kebenaran, akalnya akan mengarahkan untuk mengagungkan Allah.
Betapa tidak, tanah yang tandus tiba-tiba menjadi subur. Hal itu tidak mungkin berubah, dari tandus ke subur, kecuali karena campur tangan Allah.
Sebaliknya bagi orang yang akal pikiran dan hatinya gelap, mereka justru melawan ketika diajak untuk mengagungkan Allah.
Akal pikirannya tetap saja gelap dan hatinya tetap menyimpang ketika di depannya ada fenomena kekuasaan Allah yang demikian menakjubkan.
Fenomena yang gamblang dan jelas atas kekuasaan Allah, tetapi mereka memilih melakukan perlawanan untuk menutup mata atas kebesaran Allah. Itulah kesombongan yang sebenarnya.
Namun di akhir babak sejarah, kesombongan dan keangkuhan berakhir kehinaan. Fir’aun ditenggelamkan di Laut Merah ketika menentang ajaran profetik Nabi Musa.
Demikian pula apa yang dialami oleh Namrud yang begitu gigih menentang Nabi Ibrahim yang mengajak untuk mentauhidkan Allah.
Demikian pula Abu Jahal dan para penentang Nabi Muhammad akhirnya mati dalam keadaan terhina meskipun bukti-bukti kebenaran di depan matanya.
Dalam konteks kekinian, ketika muncul kasus-kasus korupsi dan penyimpangan kekuasaan, sehingga ketidakadilan dan ketidaksejahteraan terlihat di mana-mana, maka suara-suara kritis itulah yang dijadikan penyebab.
Sementara para pelaku kejahatan terus menikmati hasil kejahatannya, dan rakyatnya disibukkan untuk memperkarakan orang-orang yang bersuara kritis.
Orang-orang kritis ini dituduh sebagai pembuat kegaduhan, guna mengalihkan perhatian masyarakat yang sudah tahu biang keladi carut-marutnya negara. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News