Muhammadiyah Perlu Tentukan Bentuk Partisipasi Politiknya
Prof Hilman Latief

Terbitnya Risalah Islam Berkemajuan dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta memicu pertanyaan reflektif.

Sudah sejauh apa narasi, kontribusi, dan partisipasi yang sudah dibangun oleh Persyarikatan Muhammadiyah dalam berbagai aspek dari keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta pada 14-20 tahun terakhir?

Refleksi itu penting untuk mengukur langkah prioritas multi purpose organisation seperti Muhammadiyah ke depan sekaligus mengukur kontribusi dan partisipasi apa yang bisa dilakukan oleh warganya. Termasuk menentukan aspek penyalurannya.

Pada bidang kontribusi pemikiran, gagasan besar Muhammadiyah telah terkandung dalam beberapa amal usaha dan Perguruan Tinggi yang dimiliki.

Pada bidang hukum dan kebangsaan, Muhammadiyah juga aktif melakukan kritik konstruktif, misalnya dengan judicial review pada isu-isu tertentu.

Pertanyaan saya adalah, sampai kapan kita perannya di situ terus?

Dan kapan kita mulai ikut merumuskan undang-undangnya?

Yang perlu kita pikirkan lagi kapan dan bagaimana kita ikut merumuskan?

Ini penting ketika bicara kontribusi dan partisipasi dalam konteks kebangsaaan.

Juga terkait kontribusi Muhammadiyah dalam bidang politik 20 tahun terakhir.

Apakah selama ini, kita ini lebih berperan sebagai organisasi yang bisa blended, responsif dan partisipasif dengan agenda-agenda kebangsaan ataukah narasi yang kita bangun itu lebih banyak berperan seolah-olah sebagai oposisi?

Mana yang paling dominan, dan apa yang harus dominan dan perannya nanti?

Pemetaan ini juga memerlukan perumusan yang tersosialisasi merata sampai ke akar rumput.

Sebab jika hanya sampai di tingkat struktural pusat, ide-ide yang tercakup dalam Risalah Islam Berkemajuan dia nilai tidak akan optimal.

Ambil contoh pada saat Tanwir di Bengkulu tahun 2019 yang bertepatan dengan tahun politik. Saat itu, sikap organisasi PP Muhammadiyah untuk netral dalam Pilpres ternyata dilawan oleh sebagian warga.

Hal-hal seperti ini menjadi catatan penting bagi langkah ke depan. Termasuk mendorong para kader dari Angkatan Muda Muhammadiyah untuk terjun ke medan yang lebih solid di dunia politik.

Maka dalam konteks kebangsaan ini perlu kita mendefinisikan lebih jernih narasinya apa, model partisipasinya apa, dan kontribusinya apa.

Ketika energi politik begitu menggebu-gebu, ketika ada kader-kader yang terjun ke politik beneran, ternyata malah tidak mendapat dukungan yang kuat. (*)

(Disarikan dari pernyataan Prof Hilman Latief yang dirilis muhammadiyah.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini