Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 1)
foto: pinterpolitik.com

Dalam literatur gerakan pembaruan Islam di tanah air, Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi pionir.

Tak ada satu pun fakta sejarah yang bisa memungkiri sepak terjang organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut dalam gerakan pembaruan di Tanah Air.

Gerakannya pun nyata dan bisa dirasakan sampai detik ini, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Bahkan sejarah mencatat, kemerdekaan yang didapatkan bangsa ini merupakan berkat gerakan pembaruan yang terjadi di Indonesia.

Dari gerakan pembaruan itulah, bangsa ini akhirnya sadar menggalang kekuatan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Itu artinya, Muhammadiyah memiliki peran sangat besar dalam menggerakkan kesadaran bangsa ini.

Peran itu paling tidak terlihat dari sejumlah kader Muhammadiyah yang juga ikut terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Tercatat di antaranya Ir Soekarno yang akhirnya menjadi presiden RI, Panglima TNI Jenderal Soedirman, Kasman Singodimedjo, dan Kahar Muzakir.

Jadi, kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa ini sudah tidak diragukan lagi.

Tak hanya itu, organisasi ini hingga kini juga terus berkiprah ikut membangun bangsa ini, bahkan tercatat sebagai organisasi terkaya di Tanah Air, memiliki aset triliunan.

Baca juga: Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 1)

Fakta ini sekaligus menyadarkan kita dan mengakui bahwa KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah merupakan sosok hebat dan visioner.

Bagaimana tidak, di saat bangsa ini masih terbelenggu penjajahan Belanda, KH Ahmad Dahlan berani membuat keputusan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta, 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912.

Keputusan itu tentu tidak mudah bagi KH Ahmad Dahlan, tetapi beliau berani dan akhirnya keberaniannya terbayarkan meski di awal-awalnya menghadapi banyak tantangan bahkan ancaman pembunuhan.

Tentu banyak yang tanya, siapa sebenarnya KH Ahmad Dahlan? Pertanyaan itu layak dilayangkan untuk bisa mengungkap Sang Pencerah tersebut.

Pertanyaan ini juga penting untuk sekaligus mengetahui hubungan KH Ahmad Dahlan dengan pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

Sesuai referensi, KH. Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1.868 dari kedua orang tua alim, saleh, dan salihah, yakni KH. Abu Bakar, seorang Imam Masjid Besar Kauman Kasultanan Yogyakarta serta Nyai Abu Bakar (putri H. Ibrahim, Penghulu Kraton Kasultanan Yogyakarta).

Saat kecil, beliau diberi nama Muhammad Darwis oleh orang tuanya. Namun ketika besar, beliau dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan.

Dari silsilahnya, beliau tercatat merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, wali pertama dari Walisanga. Itu artinya, KH Ahmad Dahlan masih merupakan ketururan Rasulullah saw.

Lengkap garis nasab KH. Ahmad Dahlan adalah putra KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

***

Sejak kecil, KH. Ahmad Dahlan memang dididik di lingkungan pesantren. Tak hanya pesantren di sekitar Jawa Tengah, KH Ahmad Dahlan juga belajar ke sejumlah pesantren di Jawa Timur. Termasuk di Pesantren Syaichona Kholil Bangkalan, Madura.

Di pesantren inilah, KH Ahmad Dahlan bertemu dengan hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari. Keduanya belajar bersama di bawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.

Sampai pada akhirnya, empat dari murid Syaichona Kholil lulus, mereka lalu diperintahkan berguru ke Jombang dan Semarang. Dua murid, yakni KH Imam Zahid yang merupakan kakek Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan KH. Romli diperintah berguru ke Jombang.

Baca juga: Muhammadiyah Perlu Tentukan Bentuk Partisipasi Politiknya

Sedang KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari mendapat perintah berguru kepada Kiai Sholeh Darat di Semarang. Kiai Sholeh Darat sendiri merupakan ulama tersohor di pesisir utara Jawa kala itu.

Bahkan keluarga RA Kartini juga belajar agama kepada Kiai Sholeh Darat. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari berteman baik, bahkan saking akrabnya mereka menjadi kakak beradik selama di pesantren.

KH Ahmad Dahlan yang usianya lebih tua dianggap sebagai kakak, sedang KH Hasyim Asy’ari menjadi adik.

Namun, kebersamaan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tidak berlangsung lama. Pasalnya, pada tahun 1883, KH Ahmad Dahlan yang kala itu berusia 15 tahun harus kembali ke Yogyakarta untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Sekaligus juga bermukim di Mekkah selama lima tahun di Mekah guna mendalami ilmu agama dan bahasa Arab.

Dari situlah beliau berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaruan dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, serta Ibnu Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam tersebut kelak di kemudian hari mempunyai pengaruh pada diri KH Ahmad Dahlan sehingga menampilkan corak keagamaan sama dengan kaum pembaharu.

Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang bertujuan memperbarui pemahaman keagamaan. Dalam hal ini, paham keislaman di sebagian besar dunia Islam saat itu masih bersifat ortodoks (kolot).

Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, jumud (stagnasi), serta dekadensi (keterbelakangan) umat Islam.

Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbarui melalui gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Alquran dan hadis.

Karena tidak sedikit ajaran Islam tercampur praktik tahayul, khurafat, dan bid’ah yang rentan menjurus pada kemusyrikan.

Inilah yang dianggap menyebabkan kebekuan ajaran Islam, jumud, dan dekadensi, sehingga umat Islam tidak bisa maju.

Pada tahun 1888, sepuang dari Mekah, KH. Ahmad Dahlan yang punya nama kecil Muh. Darwis, diangkat jadi Khatib Amin di lingkungan Kasultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1902‒1904, beliau menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Mekah.

Saat itulah, KH Ahmad Dahlan bertemu lagi dengan teman lamanya, KH Hasyim Asy’ari di Mekkah yang sama-sama belajar di Mekkah. Mereka berguru pada guru yang sama, yakni Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, seorang imam besar masjidil haram. (*)

Penulis: ROUDLON FAUZANI M.Pd, jurnalis senior dan pemerhati sejarah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini