Perdebatan di media sosial berkaitan dengan pemahaman agama Islam seringkali menjadikan setiap orang mudah memberikan label pada orang lain yang berbeda paham atau pendapat dengan berbagai istilah baru yang bermakna kurang baik dan tidak bermoral.
Penyebutan atau penyematan label tersebut biasanya merupakan ekspresi pemberi label untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih hebat dari orang lain. Di antara istilah-istilah yang muncul dan jarang diketahui masyarakat awam adalah istilah “ruwaibidhah”. Lalu apakah sebenarnya makna ruwaibidhah itu ? Bagaimana karakteristiknya di era sekarang ?
Pengertian Asal Bahasa
Kata “ruwaibidhah” berasal dari akar kata “rabadha” dengan banyak makna dalam bahasa Arab, di antaranya bermakna berlutut dan bersandar. Kata “rabadha” sebagai kata kerja menjadi “rabidha” atau “rabidhah” sebagai subyek, lalu menjadi kata “ruwaibidhah”. Lalu dimaknai sebagai “orang lemah yang tidak mampu atau menahan diri dari perkara-perkara yang sifatnya tinggi”.
Dalam pemaknaan lain adalah “orang bodoh yang berbicara tentang masalah umum”. Atau lebih mudah dipahami sebagai seseorang atau sekelompok orang yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi wawasan dan pengetahuan terkait, tetapi banyak berkomentar tentang hal-hal yang berkaitan dengan perkara banyak orang.
Terdapat beberapa hadits yang berbicara tentang “ruwaibidhah”, salah satunya adalah hadits berikut : Dari Anas bin Malik –radhiyallahu anhu– berkata, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sebelum datangnya Dajjal akan ada beberapa tahun munculnya para penipu, sehingga orang jujur didustakan, sedang pendusta dibenarkan. Orang yang amanat dikhianati, sedang orang yang suka berkhianat dipercaya, dan kaum Ruwaibidhah akan turut berbicara (berkomentar)”. Bertanyalah seseorang, “apa itu Ruwaibidhah?” Rasulullah menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan publik” (HR Ahmad).
Ruwaibidhah di Era Sekarang
Hari ini hampir setiap orang memiliki akun media sosial. Dimana setiap orang mampu saja berpendapat dengan modal akun media sosial saja. Jika itu merupakan opini atau pendapat tentang suatu hal yang sifatnya mudah dipahami publik, seperti aspirasi politik, usulan solusi pada suatu permasalahan umum, dan semisalnya, itu tentu merupakan hak berpendapat yang menjadi hak masing-masing, tentu dengan etika.
Akan tetapi dalam beragama, tentu tidak semua orang memiliki kewenangan, apalagi mampu menjadi “ulama” modal media sosial, padahal yang disampaikan hanya merupakan copy-paste dari sumber lain.
Perdebatan liar di media sosial yang berkaitan dengan paham agama sangat berpotensi memunculkan para “Ruwaibidhah” yang sebenarnya. Terlebih dalam memahami Islam dengan kontekstual, tentu tidak sembarang orang mampu memberi pendapat meskipun apa yang disampaikan merupakan fatwa atau perkataan ulama dari negeri lain.
Agar Tidak Menjadi Ruwaibidhah Perlunya Belajar Formal
Mempelajari ilmu apapun, terlebih khusus studi Islam masih kurang jika sebatas pada kajian-kajian yang termasuk non-formal. Dengan mempelajari Islam dengan formal, maka akan mempelajari Islam secara lebih utuh, sistematis dan lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Jangan Mudah Terpengaruh Debat Agama di Media Sosial
Perdebatan agama yang sering dipicu oleh akun-akun media sosial yang “misterius” dengan menggunakan nama akun samaran merupakan hal yang sia-sia. Selain membuang waktu, tenaga dan pikiran, juga seringkali membawa pada konflik dan masalah yang tidak kunjung selesai.
Pentingnya Pendekatan Multidisiplin
Dalam memahami masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, perlu untuk memahaminya dengan pendekatan lebih dari satu perspektif bidang ilmu. Memang hal tersebut tidak semua orang mampu melakukannya, akan tetapi dengan pendekatan multidisiplin tersebut, suatu masalah menjadi lebih jelas dan dipahami secara lebih utuh.
Memahami Islam ala Muhammadiyah
Muhammadiyah sendiri dalam Risalah Islam Berkemajuan menegaskan bahwa dalam memahami Islam dengan tiga pendekatan, yaitu : (1) Bayani, tekstual Al-Quran dan Hadits, (2) Burhani, pendekatan ilmu rasional, dan (3) Irfani, pendekatan intuisi dan nurani.Label seperti ini tidak boleh asal disematkan, adanya hadits untuk menjelaskan kondisi tentang sekelompok orang dengan sifat seperti ini, bukan menjadi dasar untuk bolehnya menyematkan label serupa pada orang lain. (Faruqi/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News