Memperkokoh Kemantapan Tauhid, Membumikan Kepekaan Sosial
foto: thejakartapost.com
UM Surabaya

*) Oleh Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag., MA.
Sekretaris PDM Lamongan, Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jatim

Bismillaahi Ar-Rahmaani Ar-Rahiimi

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا. لآإِلٰهَ إِلاَّ اللهُ اللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ هَذَا الْيَوْمَ عِيْدًا لِلْمُتَّقِيْنَ الصَّالِحِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدٍ الَّذِي أُرْسِلَ بِدِيْنِ الْحَقِّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةٌ لِلْعاَلَمِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَاإِخْوَانِي الْكِرَامُ رَحِمَكُمُ اللهُ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، اِتَّقُوا اللهَ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

Jamaah Salat Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT.

Bersamaan dengan gema takbir yang sejak semalam telah berkumandang di seluruh
dunia, sungguh kita patut bersyukur kehadirat Allah SWT, bahwa pada hari ini kita umat
Islam masih diberi kesempatan agung untuk dapat merayakan Idul Adha, hari raya kurban
atau hari raya pengorbanan.

Syukur ini adalah refleksi iman dan penghambaan kita kepada Sang Maha Pencipta atas nikmat dan barakah baik berupa kesehatan ataupun terutama keimanan dan keislaman kita.

Maka, syukur ini dengan demikian merupakan tanda keimanan dan rasa butuh kita kepada Allah untuk terus-menerus secara istikamah taqarrub kepada-Nya.

Selawat beserta salam semoga selalu tercurah untuk baginda Rasulullaah, Muhammad SAW. Semoga syafaat beliau melingkupi kita, ketika di Padang Makhsyar kita dikumpulkan untuk dimintai pertanggung-jawaban atas seluruh amal perbuatan kita selama di dunia.

Semoga kita dikumpulkan ke dalam golongan beliau, ditandai dengan bendera kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullaah, sehingga kita menjadi golongan yang diselamatkan Allah dari siksa api neraka dan fitnah hari akhir. Aamiin Allaahumma Aamiin.

Pada kesempatan ini, ijinkan juga khatib berpesan kepada diri khatib sendiri
khususnya serta kepada jamaah sekalian umumnya, marilah kita tingkatkan penghayatan
kita akan bertakwa kepada Allah, dengan memperbanyak beramal saleh, dengan cara
melaksanakan perintah Allah dan sekaligus menjauhi larangan-Nya.

Sungguh, takwa adalah bekal kehidupan paling agung yang disediakan Allaah SWT. untuk kita dalam mengarungi kehidupan dunia, dalam rangka mempersiapkan diri kita untuk mengarungi kehidupan berikutnya kelak di akherat.

Allah SWT., berfirman: “…Bersiaplah dengan bekal yang baik, maka bekal
yang terbaik adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku, wahai orang-orang
yang memiliki kesadaran nurani—Ulul Albab.” (QS. 2: 197).

Allaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahil hamd!

Kaum Muslimin dan Muslimat yang diridai Allah SWT.,

Gema takbir, tahmid dan tahlil yang berkumandang di seantero dunia hari ini adalah ritual memperingati jejak dan pesan kesalehan yang ditorehkan atas izin Allah oleh
Kekasih Allah (Khalilullaah/Khalilur Rahman) dan putranya, yakni Nabiyullah Ibrahim
dan Nabiyullah Ismail As.

Pertanyaannya, jejak dan pesan kesalehan apakah yang diajarkan oleh ayah-anak yang dipilih Allaah sebagai hamba-Nya yang saleh ini?

Bagaimana kita dapat menginspirasi serta meneladani jejak dan pesan keshalehan kedua
beliau untuk kita jadikan fondasi akhlak kita dalam menghadapi dunia modern kita hari ini
yang semakin terlihat semrawut?

Marilah sejenak kita kembali kepada Kitab Suci Alquran untuk mengetahuinya. Tak kurang dari 59 kali Alquran mengabadikan nama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, baik dalam penyebutan secara sendiri ataupun bersamaan, juga bersamaan dengan nabi-nabi
keturunan Ibrahim lainnya sebagai penyokong agama hanif.

Di antara mafhum ayat-ayat yang disebutkan Alquran menyatakan nilai-nilai prinsipil yang bisa disebut sebagai jejak dan pesan keshalehan Ibrahim dan Ismail, di antaranya, kemantapan tauhid, kepekaan dan keikhlasan.

Nilai-nilai tersebut membuat kedua Nabi Allah ini mendapatkan sematan agung di dalam Alquran, yaitu Nabi Ibrahim sebagai Shiddiqan Nabiyyaan (seorang Nabi yang
menjaga hati, lisan dan perilakunya untuk selalu benar di jalan Allah).

Sedangkan Nabi Ismail sebagai Shodiqul Wa’di wa Kaana Rasuulan Nabiyyaa (seorang Nabi dan Rasul yang selalu menepati janji) serta juga Minal Akhyaar (termasuk orang pilihan).

Allaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahil hamd!

Kaum Muslimin dan Muslimat yang diridai Allah SWT, Ke semua nilai-nilai prinsipil di atas secara gamblang dapat kita buktikan dalam peristiwa Idul Adha. Idul Adha adalah hari raya yang terkait dengan pengorbanan Nabi Ibrahim AS, yang pernah diperintahkan Allah SWT., lewat mimpi untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail AS.

Namun kemudian digantikan oleh Allaah dengan seekor qibas, karena memang perintah itu hanyalah ujian keimanan. Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim AS, dan ibadah kurban yang diperintahkan Allah kepada kita kaum beriman, paling tidak memiliki dua dimensi utama.

Pertama, hubungan vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta
(hablun min Allah) yang harus berlangsung atas dasar keikhlasan pengabdian. Yaitu,
hubungan yang ditegakkan atas dasar cinta tanpa pamrih.

Sulit dibayangkan bahwa Nabi Ibrahim As rela memenuhi perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya, buah penantian panjang dari kemandulan istrinya yang bertahun-tahun, kini sedang tumbuh berkembang sebagai seorang pemuda tampan.

Logika manusia modern mungkin akan menolak perintah mimpi seperti itu yang hanya akan dianggap sebagai bunga tidur.

Manusia modern mungkin akan mencari dalih bahwa perintah itu hanyalah tipu daya
doktrin agama yang harus dihindari. Kecintaan manusia modern terhadap dunia
menghalanginya untuk melenyapkan milik yang paling dicintainya lewat tangan sendiri.

Namun, tidaklah demikian halnya dengan Ibrahim As. Nabi yang dikenal sebagai “Bapak Monoteisme” yang karena pencarian panjang dan intensnya akan Tuhan Yang Maha Esa, telah memilih jawabannya sendiri.

Kecintaannya yang tulus kepada Allah, yang didasari pada keimanan yang kuat menghunjam dalam diri, dan ketaatannya kepada Allah yang mengatasi segala loyalitas kepada makhluk, telah menggerakkan hatinya untuk memenuhi perintah Allah, walau secara manusiawi sangat berat untuk dilaksanakan.

Dengan demikian, dalam prinsip bertauhid kepada Allah Swt, ada dua nilai yang
mendasarinya.

Pertama, mengikuti/menerima ketentuan/hukum Allah tanpa syarat. Kedua, menjalaninya dengan sabar dan keyakinan bahwa Allah memiliki skenario yang terindah untuk hamba-Nya.

Allaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahil hamd!

Kaum Muslimin dan Muslimat yang diridlai Allah SWT. Prinsip tauhid inilah yang dipraktikkan oleh Ibrahim dan Ismail sebagai jejak dan pesan kesalehan pertama Idul Adha.

Marilah kita hayati percakapan antara Ibrahim dan Ismail ketika mereka mendiskusikan mimpi Ibrahim.

“Berkata Ibrahim: ‘Wahai Anakku (tercinta), ketahuilah sesungguhnya aku
bermimpi bahwasanya aku menyembelihmu, maka apa pendapatmu?’.

Ismail menjawab: ‘Wahai Ayahku (terkasih), lakukanlah apa yang diperintahkan (Allaah)
kepadamu. InsyaAllaah Engkau akan mendapatiku dalam keadaan bersabar”. (QS. 37:
102)

Bayangkan, Ismail yang diperkirakan baru berusia 10 tahun menjawab perkara
pelik mengenai ujian keimanan yang diajukan ayahnya kepadanya, menjawab dengan
penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikitpun.

Ibrahim sendiri pasti dalam kegundahan yang nyata. Namun, prinsip tauhid yang telah tertanam kuat di dalam dadanya, menjadi kualitas keimanan yang terhunjam kuat terefleksi dalam perilaku nyata.

Kualitas keimanan dan pengabdian seperti inilah yang diharapkan dapat dimiliki
kaum beriman di tengah kehidupan modern dengan krisis multidimensional dewasa ini.
Sebagaimana kita saksikan dan alami selama ini, kehidupan umat manusia dilanda krisis
multidimensi, sejak krisis ekonomi, sosial, politik, hukum dan keamanan, hingga krisis
lingkungan dan energi.

Krisis-krisis ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral sehingga kemudian menjadi krisis kemanusiaan, yaitu krisis yang disebabkan oleh karena manusia telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia.

Manusia modern, akibat kesombongan dan keangkuhannya, telah banyak yang terjerembab ke dalam kenistaan dan kehinaan. Mereka terjatuh ke dalam pendewaan diri (individualisme), pendewaan bendawi (materialisme) dan pendewaan birahi (hedonisme).

Mereka mencari kesenangan hidup dengan memuaskan diri, mengejar materi dan
kesenangan duniawi lain, tanpa kendali diri dan pegangan akan nilai Ilahi. Sebagai
akibatnya, banyak dari manusia modern kemudian terjebak ke dalam kesenangan semu
bukan kebahagiaan sejati.

Akhirnya, mereka hidup dalam derita dan nestapa, dengan jiwa yang sesungguhnya menangis dan bahkan menjerit walaupun mereka bergelimang harta benda dan kekayaan yang tiada terhingga.

Manusia-manusia seperti ini adalah mereka yang diibaratkan oleh Allah SWT dalam Alquran sebagai orang-orang yang terjatuh ke titik nadir dari kemanusiaannya (asfala safilin-QS. 95: 5).

Allaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahil hamd!

Kaum Muslimin dan Muslimat yang diridai Allah SWT. Idul Adha dan ibadah kurban mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, yaitu dengan menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan.

Revitalisasi tauhid di tengah-tengah erosi keimanan dewasa ini adalah hal yang perlu dilakukan oleh kaum beriman. Kehidupan pada masa modern telah melahirkan dua tipe manusia.

Pertama, manusia yang sombong dan angkuh sehingga ia menggeser pusat kesadaran dan kehidupannya dari Tuhan Pencipta (Theocentrisme) kepada suatu kehidupannya dan kesadaran akan kekuasaan manusia (Anthropocentrisme), sehingga manusia menyembah
dan mengabdi kepada dirinya sendiri.

Kedua, manusia yang tiada berdaya dan terjajah oleh manusia dan makhluk lain, dan lupa akan kemahakuasaan Allah, sehingga dia menyembah dan menyerahkan segala urusan kepada makhluk lain.

Idul Adha, ibadah kurban dan ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan Ibrahim AS mengajarkan kepada kita betapa penting bagi kita untuk meneguhkan komitmen keimanan hanya kepada Allah, Pencipta manusia dan alam semesta.

Kita kembali kepada Allaah tanpa syarat, sebagai bentuk komitmen tauhid kita. Para jamaah Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT.,

Kedua, ibadah kurban berdimensi horizontal (hablun minannas), yaitu adanya kepedulian terhadap sesama manusia. Maka, bukanlah suatu kebetulan bahwa Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim As., dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban.

Hal itu melainkan karena pengabdian kita kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia. Menyembelih hewan kurban dan kemudian membagikan kepada fakir miskin dan kaum duafa tentu merupakan amal kebajikan yang mempunyai implikasi sosial yang cukup berarti.

Daging-daging hewan kurban yang kita bagikan pada saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik akan merupakan nikmat bagi saudara-saudara kita yang hampir tidak pernah mengonsumsi daging, karena mungkin bagi mereka daging adalah menu yang terlalu mewah.

Namun, yang lebih penting adalah bukan penyembelihan dan pembagian daging kurban itu sendiri, tetapi kepedulian dan kesadaran kita untuk mau berbagi kepada sesama adalah wujud dari ketakwaan kita kepada Allah.

Sebagaimana Allah berfirman:

“Sekali-kali tiadalah daging-daging itu mencapai keridhaan Allah, tapi ketakwaan darimulah yang mencapai rida-Nya” (QS. 22: 37)

Hadirin dan Hadirat Jamaah Salat Idul Adha yang dimuliakan Allaah SWT.,

Dua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan bahwa keberagamaan kita haruslah
berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian
kepadaNya, dan kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia.

Oleh karena itu, keberagamaan yang hanya berhenti pada keimanan tanpa peribadatan adalah keberagamaan yang kering kerontang, tetapi keberagamaan yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong hampa.

Maka, memang sangat indah bahwa QS. 22: 37 menutup redaksi ayatnya dengan
menyatakan “…dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik
(muhsinin).”

Prinsip Ihsan ini menegaskan satu hal, bahwa keberagamaan kita harus
memiliki fondasi Iman, Islam dan Ihsan.

Dengan kata lain, dalam beragama, kita tidak melaksanakannya hanya sekedar sebagai bentuk keimanan formal dan peribadatan formal belaka. Namun, harus dilandasi akhlak (Ihsan) kepada Allah, Rasulullaah dan sesama.

Pergeseran kata kurban, yang secara harfiah dalam bahasa Arab berarti pendekatan
(diri kepada Allah), kepada kata pengorbanan dalam bahasa Indonesia yang mengandung
arti melepaskan suatu yang paling berharga sekali pun demi sesuatu yang lebih mulia,
membawa makna positif, yaitu bahwa pendekatan diri kita kepada Allah (taqarrub ila
Allah) harus mengejawantah dalam sikap rela memberi yang terbaik di jalan Allah dan
untuk sesama demi mencapai kemuliaan di haribaan Allah SWT.

Para jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT.,

Di tengah tantangan kehidupan modern yang semakin ruwet semrawut, kita harus
meyakini bahwa kembali kepada Allah adalah pilihan dan cara terbaik dalam menghadapi
setiap peristiwa yang kita hadapi.

Kembali kepada Allah, selain mengandung arti mengembalikan segala urusan kepada Allah, juga berarti menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan baru.

Proses kembali kepada Allah menuntut kita untuk mawas diri dan introspeksi terhadap apa-apa yang telah kita lakukan selama ini.

Yakni, melakukan permohonan ampun dan pertobatan terhadap segala kesalahan yang telah kita lakukan selama ini, dan meneguhkan komitmen baru untuk mengisi kehidupan selanjutnya dengan senantiasa berpegang teguh kepada nilai-nilai Allah, kepada prinsip-prinsip jejak kesalehan Ibrahim dan Ismail As sebagai inspirasi dan teladan.

Kita berlindung kepada Allah, agar semua bencana dan keburukan yang menimpa
kita, keluarga kita dan lebih luas negeri kita akhir-akhir ini bukan laknat Allah atas kita,
lantaran kita telah melakukan, paling tidak telah membiarkan, tindak kemakshiyatan dan
pelanggaran yang merajalela dalam kehidupan modern ini.

Oleh karena itu, marilah kita berdoa dengan merendahkan diri kita di hadapan Allaah SWT.,

Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ampunilah semua dosa kami,
dosa orang-orang yang beriman kepadaMu, baik yang masih ada maupun yang telah tiada.

Ya Allah, Yang Maha Pengampun, ampunilah semua dosa kami dan dosa-dosa
kedua orang tua kami, rahmatilah kedua mereka, sebagaimana mereka telah mendidik kami sejak kecil.

Ya Allah, Yang Maha Kuasa, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri,
maka jika engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, maka kami akan menjadi orangorang yang merugi.

Ya Allah, limpahkan atas kami bangsa Indonesia kasih sayagMu, hindarilah kami
dari ujian dan cobaan yang tidak dapat kami memikulnya, jauhkanlah kami dari segala
macam bencana, malapetaka dan marabahaya.

Ya Allah, limpahkanlah atas kami Bangsa Indonesia kekuatan lahir dan batin untuk
bangkit dari keterpurukan dan kenistaan, tunjukkanlah kami jalan yang benar, yaitu jalan
orang-orang yang engkau telah beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang
engkau marahi, bukan pula orang-orang yang sesat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha illallah, Allhu Akbar Walillahil hamd.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini