Amin Abdullah sebagai Filsuf Besar yang Produktif
Haedar Nashir launching buku karya Prof Amin Abdullah. foto: muhammadiyah.or.id
UM Surabaya

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengaku telah lama mengenal Prof. Muhammad Amin Abdullah.

Komunikasi semakin intens tatkala keduanya masuk dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode 2000-2005 saat Persyarikatan dipimpin Ahmad Syafii Maarif.

Haedar memberikan sanjungan tinggi terhadap produktivitas Amin Abdullah yang terus berlanjut hingga usianya mencapai 70 tahun.

“Saya sangat terkesima dengan kemampuan Amin Abdullah dalam menghasilkan gagasan dan karya-karya yang sangat bermakna,” ujar Haedar dalam acara launching buku Filsuf Membumi dan Mencerahkan Menyemai dan Menuai Legacy Pemikiran Amin Abdullah, Jumat (28/7/2023).

Kata dia, salah satu gagasan yang paling dikenal adalah konsep pembedaan antara normativitas dan historisitas, serta integrasi-interkoneksi, yang telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan pemikiran Islam.

Selain itu, Haedar juga menyoroti penggunaan kata “Filsuf” dalam buku ini. Menurutnya, predikat ini sangat tepat untuk menggambarkan kualitas akademis Amin Abdullah sebagai seorang pemikir besar.

Pengakuan tersebut bukan semata-mata untuk mengangkat Amin Abdullah sebagai tokoh yang dijadikan acuan, melainkan sebagai bentuk apresiasi publik atas dedikasi dan kontribusi Amin Abdullah dalam dunia pemikiran, terutama di lingkungan Muhammadiyah.

“Tentu ini tidak bermaksud pengkultusan, saya yakin bahwa mas Amin sendiri suka dengan itu. Tetapi untuk menunjukkan sebuah proses dan maqam berpikir yang tidak berkesudahan dan tiada akhir,” ucap Haedar.

Haedar juga memuji Amin Abdullah sebagai seorang pemikir sejati karena telah memperkenalkan dan memperluas konsep ‘Pengembangan Pemikiran Islam’ melalui institusi Tarjih.

Salah satu kontribusinya yang luar biasa adalah memperkenalkan trilogi pendekatan bayani (dalil), burhani (akal), dan irfani (hikmah).

Meskipun pendekatan irfani awalnya menuai kontroversi dan penolakan, namun melalui penjelasan yang berkelanjutan, akhirnya diterima oleh masyarakat karena dianggap bersinonim dengan karakter ihsan, yaitu sifat-sifat seperti bersahaja, amanah, jujur, dan menebar amal saleh.

Haedar juga mengenang perdebatan yang terjadi pada tahun 2003 di Padang mengenai penerimaan pendekatan irfani dalam Manhaj Tarjih.

Saat itu, beberapa anggota Muhammadiyah merasa cemas dengan potensi pengaruh tasawuf yang dapat mengarah pada tarekat.

Namun, dengan penjelasan dan pengertian yang luas, pendekatan irfani akhirnya diterima dan diakui sebagai bagian penting dari pemikiran Islam dalam lingkungan Muhammadiyah.

“Ini tidak gampang, tahun 2003 di Padang terjadi perdebatan bisa diterima atau tidak irfani sebagai sebuah pendekatan dalam Manhaj Tarjih. Saat itu ada kecemasan dari warga Muhammadiyah terhadap tasawuf yang mengarah pada tarekat,” ucap Haedar.

Kontribusi luar biasa yang dibuat oleh Amin Abdullah dalam memperkenalkan trilogi pendekatan bayani, burhani, dan irfani telah menginspirasi banyak orang, dan dianggap sebagai kemajuan positif dalam dunia pemikiran Islam.

Muhammadiyah bangga mengkategorikan Amin Abdullah sebagai seorang filsuf dan memberikan penghargaan tertinggi atas dedikasinya yang teguh terhadap kemajuan pemikiran Islam.

Pemikiran Pembaharuan

Menurut Haedar Nashir, Amin Abdullah berhasil meletakkan lajur pemikiran tajdid Muhammadiyah generasi awal sebagai identitas gerakan Persyarikatan, yang kemudian dikenal dengan tiga ciri pendekatan Tarjih, yakni bayani , burhani, dan Irfani.

“Muhammadiyah layak mengakui dan mengikrarkan bahwa Prof. Amin adalah filsuf atau pemikirnya pemikir karena beliau memperkenalkan dan menjadikan institusi Tarjih ditambah dengan pemikiran Islam waktu itu,” puji Haedar.

Haedar menyebut Amin Abdullah berperan penting dalam menghidupkan kembali corak gerakan Persyarikatan yang sempat mengalami stagnasi karena dinamika kebangsaan.

“Bersamaan dengan itu PP Muhammadiyah yang saat itu Ketuanya Buya Syafii Maarif dan sekretarisnya saya, mempublikasikan istilah pencerahan dan berkemajuan sebagai ikhtiar menghidupkan sekaligus menyambung matarantai pemikiran Kyai Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal di lingkungan Persyarikatan,” katanya.

“Sehingga ada persentuhan dan irisan dengan pemikiran keislaman yang dikembangkan Prof Amin khususnya tentang pemikiran tajdid yang berdimensi pemurnian atau purifikasi dan dinamisasi yang menjadi bagian dari Manhaj Tarjih,” imbuh Haedar.

Rekonstruksi yang digerakkan oleh Amin Abdullah guna membawa kembali Muhammadiyah pada identitas sejatinya, kata Haedar, mulai menemukan pijakan pada tahun 2000 dengan populernya berbagai istilah khas Muhammadiyah seperti pencerahan, berkemajuan, dan lain sebagainya.

Usaha-usaha interkoneksi ilmu, tajdid, pemurnian, dan dinamisasi, bahkan dianggap telah menjadi satu kesatuan gerakan pemikiran Muhammadiyah sejak 2005.

Haedar juga memuji sosok Amin Abdullah yang selama ini menggambarkan wajah umum dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti mengutamakan keadaban publik, kesederhanaan, dan kebijaksanaan yang kuat diwarnai aspek irfani dan ihsan.

Haedar berharap Amin Abdullah membuka madrasah atau sekolah khusus yang berfungsi untuk mewariskan gagasan keilmuannya.

Berkaca dari perjuangan dia, Haedar mengajak kader dan pegiat Persyarikatan untuk mengembangkan gagasan tajdid dan gerakan pemikiran Muhammadiyah lewat interkoneksi ilmu dengan pendekatan khas bayani, burhani, dan irfani pada berbagai aspek kehidupan.

Terakhir untuk kaum muda, baik institusi maupun perorangan, Haedar mengajak untuk melangkah lebih jauh, yakni proyek pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami Alquran dan Sunah, dan pemikiran-pemikiran kehidupan.

“Saya pikir tidak ada masalah memakai pendekatan bayani, burhani, dan irfani untuk membaca fenomena sosial di samping paradigma keilmuan yang ada,” tutur dia. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini