Berkaca Dalam Kasus Rantis Brimob: Kuasa Pemerintah Vs Rakyat

Berkaca Dalam Kasus Rantis Brimob: Kuasa Pemerintah Vs Rakyat
*) Oleh : Riski Febria Nurita,SH, MH & Rahmad Rafid, S.Pd, M.Pd
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Cipta Wacana Malang
www.majelistabligh.id -

#Pengabaian Negara Dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Pada Alinea Ke-4 Pembukaan UUD 1945

Di tengah kondisi perekonomian nasional yang penuh tantangan, keputusan atau wacana kenaikan gaji bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat dan menuai perhatian publik. Situasi ini memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat yang menilai bahwa kebijakan tersebut tidak sejalan dengan realitas ekonomi yang sedang dihadapi oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tekanan ekonomi akibat berbagai faktor, seperti dampak pasca pandemi COVID-19, ketidakpastian ekonomi global, fluktuasi harga energi dan pangan, serta pelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi ini berdampak langsung pada meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan penurunan daya beli masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah juga terus berupaya menjaga stabilitas fiskal dengan melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor penting, seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Dalam situasi tersebut, wacana atau pelaksanaan kenaikan gaji DPR dianggap tidak selaras dengan semangat penghematan dan solidaritas terhadap kondisi rakyat. Padahal, sebagai wakil rakyat, anggota DPR diharapkan menjadi contoh dalam menjalankan prinsip keadilan sosial dan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas. Kenaikan gaji justru berisiko memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif, yang selama ini sudah sering dikritik terkait kinerjanya dan penggunaan anggaran.

Oleh karena itu, penting untuk menganalisis lebih dalam tentang kebijakan kenaikan gaji DPR, baik dari aspek ekonomi, politik, etika, hingga persepsi publik, agar dapat menjadi bahan evaluasi dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. Menurut peneliti ICW Egi Primayogha, DPR perlu mempertimbangkan aspek etika publik dalam mengambil kebijakan ini.

Apakah patut mengeluarkan anggaran sedemikian besarnya sampai triliunan rupiah selama 60 bulan ketika DPR menjabat. Terlebih saat ini, banyak persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Harga-harga yang terlanjur naik karena rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.

Kemudian, kenaikan drastis pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah yang diduga dampak dari efisiensi transfer ke daerah. Ada pula kenaikan bahan pokok, seperti beras. Belum lagi, peningkatan angka pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja pada semester I tahun 2025.

Dari Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, tercatat ada 42.385 pekerja yang mengalami PHK sepanjang Januari hingga Juni 2025.

Angka ini melonjak 32,19% dibanding periode yang sama tahun 2024 yakni 32.064 orang.

Kebijakan pemerintah tersebut merupakan pengabaian negara dalam mewujudkan keadilan sosial pada alinea ke 4 pembukaan UUD 1945. Ketimpangan yang terjadi semakin terlihat gap antara pemerintah dan masyarakat, padahal pemerintah dalam hal ini yaitu legislatif yang merupakan perwakilan suara rakyat telah benar-benar mencurangi perasaan rakyat yang diwakilinya, di tengah kondisi perekonomian saat ini. Apalagi di tengah badai korupsi yang terang-terangan dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia.

Commune Bonum Dalam Pusaran Kuasa Pemerintah

Kebijakan atau wacana kenaikan gaji anggota DPR di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Secara umum, persepsi publik terhadap kebijakan ini cenderung negatif, karena dinilai tidak mencerminkan empati dan kepekaan sosial dari para wakil rakyat terhadap situasi yang sedang dihadapi oleh masyarakat luas.

Yang pertama yaitu dampak sosial dan politik,  diantaranya menurunnya kepercayaan publik kenaikan gaji di saat banyak rakyat sedang berjuang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, pengangguran, dan minimnya akses layanan sosial berpotensi memperburuk krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif. DPR bisa dipersepsikan sebagai elit politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.

Dampak berikutnya, potensi meningkatnya ketegangan sosial. Kebijakan ini juga berpotensi memicu resistensi sosial, termasuk protes, kritik di media sosial, hingga demonstrasi. Masyarakat bisa merasa bahwa terdapat ketidakadilan struktural dalam pengelolaan keuangan negara, di mana rakyat diminta berhemat, namun wakil rakyat justru menikmati kenaikan fasilitas.

Dampak terhadap stabilitas politik. persepsi negatif yang meluas terhadap DPR dapat berdampak pada stabilitas politik, terutama menjelang pemilu atau saat pembahasan kebijakan penting lainnya. Legitimasi DPR sebagai representasi suara rakyat bisa semakin dipertanyakan.

Kedua, yaitu persepsi moral dan etika public diantaranya tidak etis dan tidak peka

Secara moral, banyak masyarakat memandang kenaikan gaji DPR sebagai tindakan yang tidak etis, terutama ketika masyarakat diminta untuk bersabar dan berhemat. Publik mengharapkan wakil rakyat menunjukkan solidaritas, bukan justru memperbesar fasilitas pribadi.

Citra wakil rakyat sebagai pelayan publik tercederai. Alih-alih menjadi teladan dalam pengorbanan dan tanggung jawab sosial, DPR justru dikhawatirkan semakin dicitrakan sebagai elit yang jauh dari realitas kehidupan rakyat. Hal ini memperkuat kesenjangan antara penguasa dan yang dikuasai.

Di tengah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan rakyat maka adagium Commune Bonum atau suara rakyat suara tuhan yang dijunjung tinggi dalam konstitusi yaitu kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat hanyalah suatu cakap angin semata . Maka jalan satu-satunya yaitu rakyat harus bersuara melalui penyampaian pendapat di muka umum atau yang kita sebut dengan demonstrasi.

Berkaca Dalam Kasus Rantis Brimob : Kuasa Pemerintah Vs Rakyat

Rakyat hanyalah rakyat yang secara realitas tidak memiliki keuatan apapun kecuali menyuarakan suara dan uneg-uneg nya melalui demonstrasi massa penolakan gaji DPR dengan segala tuntutan penghapusan gaji dan tunjangan DPR, dan bahkan pembubaran DPR , Pembatalan kenaikan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta, Pengesahan RUU Perampasan Aset, serta tuntutan buruh seperti penghapusan outsourcing dan kenaikan upah minimum (8,5–10,5%),

Kritik tajam terhadap ketimpangan penghasilan: gaji buruh rata-rata Rp3,5–5 juta vs gaji DPR mencapai Rp104 juta, Seruan bahwa DPR tidak peka terhadap kondisi rakyat yang sedang sulit.

Namun aksi massa tersebut meninggalkan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia ketika salah satu pekerja ojek online terlindas kendaraan Tastis Brimob ketika berupaya membubarkan massa demo kenaikan gaji anggota DPR tanpa adanya upaya kendaraan Tastis tersebut untuk mundur dan tetap melaju melindas tubuh korban Affan Kurniawan berusia 21 Tahun .

Insiden tragis ini menimbulkan kecaman publik yang intens khususnya dari komunitas ojol atas tidak adanya simpati dan prosedur keselamatan saat pengamanan demo. Respons cepat dan terbuka dari Kapolri dan Kapolda, termasuk transparansi proses hukum dan kompensasi terhadap keluarga korban, adalah langkah penting untuk memulihkan kepercayaan publik serta menyatakan akuntabilitas institusi.

Insiden tersebut sungguh berbenturan dengan apa yang telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, Dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum, dalam Pasal 3 huruf b dan e yaitu “perlindungan HAM, yaitu pengamanan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan dengan menjunjung tinggi HAM” dan “kepentingan umum, pelayanan diberikan dengan mengutamakan kepentingan umum”.

Insiden ini memperkuat persepsi bahwa aparat kerap menggunakan kekerasan berlebihan dalam mengamankan demonstrasi. Akibatnya, muncul ketakutan dan kemarahan di kalangan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti pengemudi ojol yang sering berada di ruang publik saat aksi terjadi. Meski Kapolri dan Kapolda Metro Jaya telah menyampaikan permintaan maaf dan menjanjikan pertanggungjawaban, insiden ini menunjukkan adanya gap empati antara aparat dan masyarakat sipil. Ketika rakyat merasa bahwa aparat justru menjadi ancaman ketimbang pelindung, kepercayaan terhadap institusi penegak hukum akan terkikis. Kejadian ini memperburuk citra polisi yang sebelumnya sudah sering dikritik terkait represivitas saat unjuk rasa.

Kecelakaan fatal dalam situasi pengamanan massa tidak membebaskan petugas dari pertanggungjawaban pidana, apalagi jika, Tidak ada upaya pengereman atau penghindaran,, Tidak sesuai SOP pengamanan,Menimbulkan korban jiwa dari warga sipil yang tidak mengancam langsung.

Jika terbukti kelalaian atau kesengajaan, aparat bisa dijerat dengan, Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati…”, Atau bahkan pelanggaran HAM jika dianggap terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh negara.

Insiden ini menunjukkan kemungkinan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) pengendalian massa, karena, Rantis melaju terlalu cepat di area padat massa sipil, Tidak ada evakuasi atau pemberian pertolongan segera kepada korban, Tidak ada perimeter aman untuk menghindari warga sipil tertabrak.

Insiden ini bukan hanya soal kecelakaan tragis, tapi cerminan masalah struktural dalam penanganan massa oleh aparat negara serta cerminan pemerintah yang abai terhadap kondisi perekonomian rakyatnya sehingga memantik gejolak rakyat. Insiden ini memperjelas perlunya reformasi mendalam dalam pendekatan keamanan publik  dari militeristik ke humanistik, insiden ini merupakan kaca buram bagi pemerintah yang di representasikan sebagai wakil rakyat. Jika tidak ditangani secara adil dan transparan, kepercayaan rakyat terhadap negara bisa makin rapuh. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search