Ijtihad yang Ada Nash-nya

Ijtihad yang Ada Nash-nya
*) Oleh : Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
www.majelistabligh.id -

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, “Bentuk pemerintahan negara yang dipraktikkan Nabi mirip pemerintahan republik, bukan kerajaan.” Namun Nabi sendiri bukan presiden an sich, ia menjadi pemimpin atas kepemimpinan keNabian dan tak pernah mengangkat diri beliau sebagai “presiden” an sich. Sehingga ada yang menyebut pemerintahan Nabi adalah pemerintahan profetik (keNabian).

Kepemimpinan sosial politik pemerintahannya jelas ada, namun pengabsahan atas kepemimpinan formal sebagai kepala negara dan pemerintahan secara “leterlek” tidak ada. Adanya pemerintahan keNabian terbentuk atas kesadaran profetik-keNabian sehingga membentuk formula pemerintahan, dan berjalan normal sebagaimana lembaga pemerintahan, dengan Nabi sebagai pemimpin tertingginya, tidak bisa kita tolak. Dan yang membantu Nabi juga tidak pernah secara resmi dengan SK (Surat Keputusan) Nabi untuk menjadi menteri, panglima tentara, gubernur, dan lainnya, sehingga ditugaskannya para sahabat ke daerah tertentu ada yang ditafsirkan sebagai gubernur, misaln

Abul A’la Al-Maududi pemikir kenamaan dari Pakistan bahkan menyebut pemerintahan Nabi sebagai pemerintahan republik, begitu juga pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Oleh sebab itu, ketika Muawiyah ibn Abi Sufyan merebut kekuasaan dari Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib yang pernah dibaiat sebagai khalifah sekitar 6 atau 7 bulan dengan Perjanjian ‘Amul Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi) dengan kompensasi tertentu yang diberikan kepada Hasan Ibn Ali, termasuk di antaranya adalah akan diadakan pemilihan kembali pemimpin pemerintahan pasca Muawiyah berakhir, namuun dikhianati dengan Muawiyah dengan pengangkatan Yazid ibn Muawiyah sebagai Putra Mahkota kerajaan Umayyah. Abul A’la al Maududi secara jelas dan terang menyebut peralihan ini, sebagai peralihan dari pemerintahan khalifah menjadi Kerajaan.

Lalu apakah misalnya dari bentuk kekhalifahan ke kerajaan kemudian menjadikan seseorang akibat pemerintahannya berbentuk kerajaan lalu menjadi kafir? Ulama’ Sunni tidak pernah menjadikan urusan “pemerintahan” (imamah dalam perspektif Syiah) bagian dari “aqidah”. Kalau Syiah, imamah adalah bagian dari rukun Iman. Sehingga di kalangan Sunni, tidak ada ulama salaf dan khalaf, gara-gara hidup di negera yang berbentuk kerajaan, republik, parlementer, dan lainnya, menjadi kafir, murtad, atau bahkan muslim itu sendiri. Tidak ada rukun dan syarat menjadi muslim harus berada di negara dan pemerintahan “Islam”. Bahkan dalam sejarahkan politik Islam, proses pengangkatan dari Khulafaur Rasyidin sendiri tidak sama, berbeda-beda. Abu Bakar lewat musyawarah, Umar ibn Khaththab lewat penunjukan, Utsman ibn Affan lewat Team yang dibentuk Umar, Ali ibn Abi Thalib lewat baiat kaum muslimin terutama kelompok kontra Utsman pada waktu itu. Lalu mana yang harus dipilih? Tidak ada nash. Sehingga bentuk apa pun pemerintahan dan nega

2. Terbuka untuk dilakukan ijtihad.

Pendapat yang kedua, boleh melakukan ijtihad terhadap persoalan yang ada nash-nya. Pendapat ini memang kontroversial, karena jelas-jelas ada teks yang sharih, masih dilakukan ijtihad. Ijtihadnya bertentangan secara diametral dengan makna tekstualnya. Sehingga tidak semua bisa menerima ijtihad yang dicetuskan. Nash tersebut bisa nash al-Qur’an atau nash Hadits. Jadi dalam pendapat yang kedua ini,

Di awal formulasi hukum Islam, yang paling kontroversial adalah kebijakan khalifah Umar ibn Khaththab terhadap beberapa ketentuan yang jelas-jelas ada nashnya, namun diambil tindakan kebalikannya (muqabalah). Kata yang mendukung, “Umar tidak meninggalkan Nas, namun memahami nash melalui pemahaman atas tujuan nash, ruh-nya nash, yang dituju oleh nash.” Inilah cikal bakal madzhab rasional dalam fiqih Islam. Kang Jalal menyebutnya sebagai Madzhab Umari. Madzhab fiqih rasional. Ada beberapa kebijakan Umar ibn Khaththab saat menjadi khalifah “menyalahi” nash sharih, namun bila direnungkan secara mendalam, tenang, bertafakkur secara jernih, akan “ketemu” ruh yang diijtihadi Umar terhadap nash. [Nanti di bawah akan dipaparkan].

Di masa pentasyri’an, tidak ada persoalan serius, karena Nabi punya hak tasyri’ dari Allah. Misalnya adanya kebolehan Mut’ah berdasarkan QS. Al-Nisa’/4: 24, namun dinasakh oleh “kebijakan” Nabi, bukan oleh al-Qur’an, yang secara piramida posisinya ada di puncak, sedang “hadits” atau “Sunnah” ada di bawahnya, sehingga tidak ekual antara nash al-Qur’an dengan nash Hadits. Peristiwa seperti ini, bisa menjadi preseden bagi kebolehan melakukan ijtihad atas nash yang sharih.

Dalam pembagian “Ghanimah”, Bilal ibn Rabah adalah pioner terdepan untuk “melawan” kebijakan Umar tersebut. Bilal bersikeras bahwa tindakan Umar menyalahi nash, sehingga kebijakan tersebut harus dilawan, karena jelas-jelas bertentangan dengan nash yang sharih” Lama negosiasi Umar untuk melunakkan pendapat Bilal dan pendukngnya. Namun banyak sahabat senior yang mendukung pendapat Umar, sehingga kebijakan Umar diterima, untuk tidak membagikan “ghanimah” (Rapasan perang) kepada para prajurit, prajurit tetap digaji antara lain diambil dari ghanimah tersebut, namun tanah rampasan perang tersebut dipekerjakan kepada penduduk setempat, diambil jizyahnya, dengan penguasaan tanah rampasan di tangan negara. Kang Jalal menyebut kelompok Bilal ini dengan Madzhab Bilali. Di antara cikal bakal fiqih tradisional, bahkan zhahiri. Pada akhirnya kata Kang Jalal, fiqih yang menang adalah fiqih penguasa. Dalam masa-masa selanjutnya, fiqih yang didukung kekuasaan juga menjadi fiqih pemenang, fiqih yang dominan. Mesir saat Bani F

Berikut contoh dari Umar ibn Khaththab tentang Ijtihad yang ada teks sharihnya dan contoh mutakhir dari ulama’ kontemporer:

1. Nikah mut’ah.

Nikah mut’ah adalah menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, dengan mahar yang telah ditentukan. Jangka waktu pernikahan ini secara jelas disebutkan ketika akad nikah, misalnya satu minggu atau satu bulan. Dan, masa mut’ah berakhir secara otomatis sesuai akad, tanpa proses perceraian.

Nikah mut’ah, secara tekstual (nash) dihalalkan di dalam al-Qur’an, dengan mendasarkan QS. Al-Nisa’/4: 24. Pendapat ini dikemukakan oleh salah seorang tokoh Syiah Indonesia, Kang Jalaluddin Rakhmat. Dalam QS. Al-Nisa’/4: 24, disebutkan:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Maka jika kamu melakukan “istimta’” dari para perempuan itu, berikanlah kepada mereka maskawinnya sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan kewajiban. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Tinggalkan Balasan

Search