Ijtihad yang Ada Nash-nya

Ijtihad yang Ada Nash-nya
*) Oleh : Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
www.majelistabligh.id -

A. Ijtihad yang ada nashnya

Kalau ijtihad terhadap sesuatu persoalan yang tidak ada nash-nya, الإجتهاد لا النص فيه , maka tidak ada khilaf antar ulama’, terbuka untuk dilakukan ijtihad. Bagaimana kalau ijtihad tentang suatu masalah yang ada teks sharih-nya (النص الصريح)? Ada 2 (dua) pendapat: 1. Tidak boleh ada ijtihad; 2. Terbuka untuk dilakukan ijtihad.

1. Tidak boleh ada ijtihad.

Pendapat pertama, Tidak boleh ada ijtihad, misalnya pendapat Prof. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya, “’Ilm Ushul al-Fiqh” menyatakan:

فان كانت الواقعة التي يراد معرفة حكمها قد دل على الحكم الشرعي فيها دليل صريح قطعي الورود والدلالة فلا مجال للاجتهاد فيها. والواجب ان ينفذ فيها ما دل عليه النص, لانه ما دام قطعي الورود فليس ثبوته و صدوره عن الله او رسوله موضع بحث و بذل جهد. وما دام قطعي الدلالة فليست دلالته على معناه واستفادة الحكم منه موضع بحث و اجتهاد. وعلى هذا فايات الاحكام المفسرة التي تدل على المراد منها دلالة واضحة, ولا تحتمل تأويلا يجب تطبيقها. ولا مجال للاجتهاد في الوقائق التي تطبق فيها.

(Jika ada suatu peristiwa terjadi yang sifat hukum syar’i-nya sudah ditunjukkan oleh dalil yang qath’i al-wurud dan artinya juga sharih, maka tidak ada ruang untuk ijtihad. Dan wajib melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh nash. Karena selama sudah ada dalil qath’i al-wurud, lalu tidak ada ketetapan dan sumber-sumber yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada rang untuk melakukan kajian dan ijtihad. Dan selama maknanya bersifat qath’i, lalu tidak ada makna yang menunjuk pada arti tersebut dan konklusi hukum yang diambil, maka tidak disediakan tempat untuk dibahas dan diijtihadi. Atas dasar ini, maka ayat-ayat hukum yang ditafsirkan dengan makna yang sesuai dengan makna denotatif, tidak menerima adanya ta’wil, maka wajib diterapkan prinsip tersebut. Karena itu, tidak ruang untuk ijtihad terhadap peristiwa tertentu untuk diterapkan prinsip tersebut).

Prof. Wahab Khalaf termasuk tokoh yang berpendapat, jika ada dalil sharih yang sumbernya sudah mutlak valid (qath’i al-wurud) dan maknanya menunjuk pada makna denotatif teks yang ada (قطعي الدلالة), maka tidak ada ruang untuk dikaji lebih jauh dan tidak menerima ijtihad. Prof. Khalaf mencontohkan ayat:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

(Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.) QS. Al-Nur/24: 2.

Kata “seratus kali dera” (مائة جلدة) adalah lafad yang jelas (sharih), tidak menerima ijtihad, dengan mentakwil atau menafsirkan ke makna yang lainnya. Kata Prof Khalaf,

لا مجال للاجتهاد في عدد الجلدات” (Tidak ada ruang untuk ijtihad tentang jumlah dera hukum zina) . Prof. Khalaf mengkiyaskan dengan Undang-undang yang teksnya disebut dengan kata yang jelas, tegas, denotatif, bukan ambigu, tidak konotatif, maka tidak boleh ditakwil dan dirubah makna teksnya, meskipun ruh Undang-undang tersebut mendukung adanya perubahan tersebut, hingga hakim itu sendiri tahu bahwa teks undang-undang tersebut tidak adil.

بناء على أن روح القانون تدعو لذلك التغيير,

حتى لو كان رأى القاضي الشخصي ان النص غير عادل

Namun jika dalilnya masih zhanni al-wurud (kesahihannya asal-usulnya debatebel), masih menerima ijtihad,“ kata Khalaf. Sanadnya diteliti, derajat perawi: sifat adil, dlabith (kekuatan hafalan), tsiqah (terpercaya), dan shidq (kejujuran). Lalu kalimatnya juga diteliti, perlu ijtihad, apakah lafadnya mubhan (ambigu), musytarak (majemuk, punya banyak arti), amm (umum), muthlaq (tak terbatas), mujmal (konotatif), dan lainnya, sehingga dipastikan batasannya, jumlah pasti yang dimaksud, makna pastinya, sesuai yang dimaksud teks (nash).

Kalau zhanni al-wurud (kesahihannya asal-usulnya debatebel) semua sepakat, bisa dilakukan ijtihad, sehingga bisa dilakukan eksplorasi makna dan pengertian baru yang beragam dan lebih menarik.

Sedang yang zhanni al-dilalah (maknanya debatebel), justru harus dibuka pintu ijtihad, karena tidak ada yang “pasti” (qath’iy). Dan, posisi ijtihad yang dihasilkan ekuivalen, sama, sama-sama ijtihadnya, sama-sama hasil pemikiran akal. Para mujtahid, muttabi’, muqallid, diberi kebebasan untuk memilih pendapat mana yang menurut pilihannya cocok dan dinilai benar menurut penilaiannya, atau bahkan sekarang lebih maju dengan menjadi pemikir atau mujtahid “fardi” (individual) baru.

Dalam hal yang tidak ada nash-nya, masuk dalam kerangka ini adalah bentuk negara dan pemerintahan dalam Islam. Tidak ada nash di dalam al-Qur’an suatu negara harus berbentuk kerajaan, kesultanan, kisra, republik, parlementer, semi parlementer, dan lainnya. Al-Qur’an dan Sunnah hanya menyerukan hal-hal yang bersifat normatif, misalnya menjadi pemimpin yang adil, berprinsip syura, mewujudkan kemakmuran dan kemaslahatan, kedamaian, memenuhi hak asasi manusia, dan lainnya. Termasuk yang berpendapat tidak ada format negara khusus menurut Islam adalah pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, pioner kaum pembaharu. Di Indonesia, Prof. Mahfud MD. juga berpendapat seperti ini, “Tidak ada nash al-Qur’an maupun Hadits tentang bentuk negara dan pemerintahan, tentang bentuk negara itu merupakan hasil ijtihad. Di negara-negara Arab pun bentuk pemerintahannya berbeda-beda. Beda antara Saudi Arabia, Turki, Iran, Syria, Mesir, dan lainnya.”

Tinggalkan Balasan

Search