Kang Jalal mengartikan “istimta’” pada ayat di atas sebagai “nikah mut’ah”. Menurut Kang Jalal, nikah Mu’ah halal secara tekstual dengan rukun dan syarat yang ditentukan sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara’.
Tafsir sebagaimana ditafsirkan KH. DR. Jalaluddin Rakhmat, ditafsirkan juga oleh kitab besar tafsir besar Sunni, misalnya Tafsir al-Khazin dan Tafsir Ibn Katsir. Dalam Tafsir al-Khazin yang nama tafsir lengkapnya: Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, yang disusun oleh Ala’uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi al-Khazin mengatakan:
“Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selesai dengan memastikan kesuciannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya, dan tidak ada hak waris antara keduanya…”
Dalam al-Thabari dijelaskan tentang pendapat Ubn Abbas tentang nikah Mut’ah
روى الطبري في “تفسيره” (8/ 177) والحاكم في “مستدركه” (3192) وابن أبي داود في “المصاحف” (ص204) عن أبي نضْرَةَ، قال: قَرَأْتُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ( فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ) .
قَالَ أَبُو نَضْرَةَ: فَقُلْتُ: مَا نَقْرَؤُهَا كَذَلِكَ “.
(Dalam Tafsir al-Thabarinya; Imam al-Hakim dalam Mustadraknya; Abu Dawud dalam Mashahif; “Abu Nadlrah berkata, “Saya membacakan ayat “Fa ma istam’tatum bihi …” kepada Ibn Abbas” Ibn Abbas menjawab, “Maka yang istimta’ dengan peremuan hingga masa yang ditentukan [Mut’ah]”
Abu Nadlrah berkata, “Lalu aku bertanya, “Mengapa anda membeca seperti itu?”
Ibn Abbas berkata, “Demi Allah, ayat tersebut turun berkenaan dengan hal itu [Mut’ah]”
Sedang Mufassir kontemporer dari Nahdlatul Ulama’, Gus Baha’ menafsirkan kata “istimta’” tidak dengan arti nikah Mut’ah, namun dimaknakan dengan, “Orang yang menikah di mana maharnya belum dibayarkan, kalau mau mushaharah harus ditunaikan kewajiban (faridlah, mahar) yang belum dilunasi. Tidak boleh “istimta’” dengan istri manakala masih ada “tangungan hutang mahar” kepada istri.
Dari kalangan sahabi, Ibn Abbas adalah sahabat Nabi yang membolehkan nikah Mut’ah.
Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
(Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115])
anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah.
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
(Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406])
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا يونس بن محمد حدثنا عبد الواحد بن زياد حدثنا أبو عميس عن إياس بن سلمة عن أبيه قال رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس في المتعة ثلاثا ثم نهى عنها
