Abu Bakr ibn Abi Syaibah bercerita, dari Yunus ibn Muhammad, dari ‘Abd al-Wahid ibn Ziyad, dari Abu ‘Umais, dari Iyas ibn Salamah, dari ayahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan nikah mut’ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim no. 18, 1405).
sejak kapan nikah Mut’ah dirukhshahkan pada zaman Nabi, ada yang mengatakan pada perang Khaibar (7 H), ada yang mengatakan pada Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah [9 H]).
كُنَّا فِي جَيْشٍ، فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
“Kami berada dalam sebuah pasukan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan berkata, “Sesungguhnya kalian telah diperbolehkan untuk melakukan mut’ah, maka lakukanlah.” (HR. Bukhari no. 5117, 5118)
Hadits berikut menggambarkan kronologi nikah Mut’ah.
Kebolehan kawin kontrak adalah riwayat Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah al-‘Akwa’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا وَقَالَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنِي إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَوَافَقَا فَعِشْرَةُ مَا بَيْنَهُمَا ثَلَاثُ لَيَالٍ فَإِنْ أَحَبَّا أَنْ يَتَزَايَدَا أَوْ يَتَتَارَكَا تَتَارَكَا فَمَا أَدْرِي أَشَيْءٌ كَانَ لَنَا خَاصَّةً أَمْ لِلنَّاسِ عَامَّةً قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَبَيَّنَهُ عَلِيٌّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْسُوخٌ
“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al-Akwa’, keduanya berkata: Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah saw mendatangi kami dan bersabda: “Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah mut’ah, karena itu lakukanlah.” Ibnu Abi Dzi`b berkata: “Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ dari bapaknya dari Rasulullah saw: “Bilamana seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh menambah, atau pun berpisah.” Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu ‘Abdullah berkata, ‘‘Ali menjelaskan dari Nabi saw, bahwa perkara tersebut telah mansukh (dihapus)’.” (HR Al-Bukhari).
Nikah mut’ah, pada asalnya adalah nikah yang dilakukan oleh para prajurit perang yang jauh dari tempat tinggal mereka sebagai “sadd al-dzari’ah” agar tidak terjatuh kepada sesuatu yang madlarat. Dilaksanakan menurut rukun dan syarat yang jelas dan pasti tertentu, namun berbeda dengan nikah biasa yang berlaku pada umumnya, yang tentu dengan rukun dan syarat tertentu juga.
Dalam formasi pembentukan masyarakat muslim awal, tentu pengaruh tradisi Arab dalam hukum perang dan masyarakat poligami, berpengaruh dalam memformulasi hukum Islam, khususnya hukum keluarga.
Mengutip “Wikishia”, “Para fukaha Syiah dengan bersandar kepada riwayat-riwayat tidak hanya memberikan fatwa tenang kebolehan nikah mut’ah bahkan menurut mereka melakukan hal ini merupakan amalan yang mustahab [dianjurkan, disunnahkan, bk]. Syi’ah Imamiyah membolehkan nikah Mut’ah. Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H), salah satu ulama Sunni, juga mengatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw. Syi’ah mengharamkan Mut’ah, yaitu Zaidiyah, Ismailiyah dan Ibadhiyah hukum kehalalan nikah mut’ah dihapus sejak zaman Nabi saw juga dan pernikahan seperti ini dihukumi haram.
Menurut Kang Jalal, di negeri Syria, Lebanon, Iran, sensitif, bisa dilempari batu, kalau berbicara Mut’ah, karena suatu aib. Ulama’ kontemporer Murtadla Mutahhari mengharamkan Mut’ah di suatu tempat yang ada istrinya.
Pada akhirnya, nikahMut’ah dilarang.
كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بالقَبْضَةِ مِنَ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ، الأيَّامَ علَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ، حتَّى نَهَى عنْه عُمَرُ، في شَأْنِ عَمْرِو بنِ حُرَيْثٍ
“Dahulu kita melakukan praktik mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari di masa Rasulullah saw dan Abu Bakar, sampai kemudian Umar melarangnya dalam permasalahan ‘Amr bin Huraits.” (HR. Muslim
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah mut’ah pada tahun Khaibar (yaitu, tahun ketujuh Hijriyah, pent.) dan melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 1407)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Wahai sekalian manusia, (dulu) aku telah memperbolehkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita, namun (sekarang) Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat …” (HR. Muslim no. 1406)
Larangan dilakukan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khatthab, yaitu, ketika beliau menjabat sebagai khalifah, di mana beliau berpidato di hadapan khalayak,
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah al-Qur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah Mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan.”
