Ijtihad yang Ada Nash-nya

Ijtihad yang Ada Nash-nya
*) Oleh : Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
www.majelistabligh.id -

Alasan dilarang dan diharamkannya nilah Mut’ah karena:

1. Sadd al-Dzari’ah, menutup jalan yang dapat mengantarkan kepada keburukan dan akibat negative lainnya.

2. Dar’u al-mafasid, mencegak kerusakan yang ditimbulkan oleh nikah Mut’ah, misalnya Nasib anak yang dilahirkan, misalnya dalam skala besar dan nasib perempuan pasca nikah Mut’ah.

3. Jalb al mashalih li al-mar’ah, menarik manfaat dari pelarangan Mut’ah dalam kejelasan masa depan suami, istri, dan juga anaknya secara finansial, ekonomi, Pendidikan, dan jaminan sosial lainnya.

Jika hukum haram Mut’ah dikaitkan dengan metode Nasikh-Mansukh, dalam teori Ushul Fiqih ada yang menolak al-Qur’an dimansukh dengan Hadits, karena tidak selevel. Al-Qur’an bersifat Qath’iy al wurud, hadits bukan qath’iy al-wurud. Karena itu, bagi kelompok ini, Nikah Mut’ah tetap mubah, karena secara tekstual nashnya masih ada.

Bagi kelompok yang mengharamkan dengan pendekatan Nasikh-Mansukh, al-Qur’an boleh dinasakh dengan Hadits, karena sama-sama nash. Meski yang menasakh bukan al-Qur’an namun Hadits, tetap sah dan al-Qur’an boleh dinasakh dengan Hadits, sehingga mubahnya hukum Mut’ah yang berasal dari al-Qur’an, dinasakh oleh Hadits yang melarang Mut’ah.

Jadi, Nikah Mut’ah bukan hanya dibolehkan oleh Syiah Imamiyah saat ini, dari kalangan Shahabi pun, seperti Ibn Abbas, yang tidak pernah dinisbatkan riwayatnya dengan kelompok Syiah, memubahkan Nikah Mut’ah. Justru Shahabi yang diidentikkan dengan Syiah, yaitu Imam Ali Karramallahu wajhahu, mengharamkan Nikah Mut’ah. Dari kalangan Syiah pun, tidak satu kata, Syiah Zaidiyah, Ismailiyah, Ibadiyah, mengharamkan Mut’ah. Kelompok Sunni, Ijma’ mengharamkan Nikah Mut’ah. Beda ulama’ beda ummatnya, beredar info, di Puncak Bogor, banyak Kawin Kontrak dengan dalil Nikah Mut’ah, agar halal. Mustahil yang melakukan Kawin Kontrak semuanya Syiah, karena mayoritas di Indonesia, khususnya Puncak Bogor, Islam Sunni.

2. Talak tiga

Talak tiga adalah talak yang diucapkan suami kepada istri dalam waktu yang berbeda, setelah talak satu dan talak dua, yang menyebabkan hubungan pernikahan antara suami dan istri putus secara permanen dan tidak dapat dirujuk kembali, kecuali mantan istri menikah lagi dengan pria lain (muhallil), melakukan hubungan suami istri (dukhul), kemudian bercerai dan menjalani masa iddah setelahnya.

Pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu masa Rasulullah dan Abu Bakar, talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu dianggap satu talak. ketika seorang suami mengucapkan “Saya talak kamu tiga kali” atau “Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak” dalam satu waktu atau satu majelis, ucapan tersebut hanya dianggap sebagai satu talak.

Pada masa Umar ibn Khaththab jadi khalifah, beliau menetapkan talak tiga dalam sekali talak, bagi kaum laki-laki yang mengucapan talak tiganya kepada sang isteri meski hanya dalam satu waktu, bukan dalam waktu yang berbeda. Khalifah Umar menetapkan talak tiga dalam sekali pengucapan menjadi talak tiga yang hakiki, sehingga terjadi “thalaq ba’in” (talak jauh), yang berakibat tidak bisa rujuk kembali kecuali mantan istrinya menikah dengan lelaki lain dan menggaulinya, karena waktu itu, banyak lelaki yang main-main dengan ucapan talak.

Kebijakan Umar tersebut ingin memberikan pelajaran kepada kaum lelaki agar tidak main-main dalam mengucapkan talak kepada isteri, dan melindungi kaum perempuan dari arogansi kaum laki-laki atas otoritas talak yang mereka miliki, sehingga dapat mempermainkan posisi perempuan yang lemah dan banyak tergantung kepada laki-laki. Kebijakan Umar tersebut untuk menciptakan kemaslahatan keluarga, anak, dan mantan istri agar posisi tawarnya kuat kepada laki-laki, karena harus merelakan “disentuh” lelaki lain jika mau kembali kepada mantan istrinya. Itu pun jika si Istri mau rujuk, jika tidak mau cerai dengan “sang muhallil”, maka tidak ada hak bagi mantan suami untuk memohon diceraikan oleh sang muhallial, karena memang sudah menjadi “orang lain”, bukan istrinya lagi. Ini, pemberian pelajaran bagi kaum laki-laki agar tidak sewenang-wenang kepada isteri.

. Kebijakan Umar tersebut jelas-jelas bertentangan dengan nash al-Qur’an yang mengakui adanya “talak” bersifat “periodik”: Talak satu, talak dua, dan talak tiga. Dan hal tersebut dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Bagaiman sikap kita?

3. Sumpah Palsu

Pada zaman Umar, sumpah seseorang tidak diterima sebagai bukti atas sebuah peristiwa tertentu, karena pada masa itu, banyak orang yang bersumpah, namun sumpahnya sumpah palsu. Sumpahnya terkadang digunakan untuk merugikan atau merusak reputasi dan menjatuhkan nama orang lain, berdasar kesaksian sumpahnya, padahal sumpahnya adalah sumpah palsu.

4. Rampasan perang

Prof. Fazlur Rahman dalam Islmic Methodology in History menyebutkan, “Umar jelas-jelas ‘meninggalkan’ ketentuan yang jelas-jelas ada nash sharih-nya, adalah dalam kerangka memahami “sunnah yang hidup” sebagaimana yang dipraktikkan

Dengan menjadikan QS. Al-Hasyr/59:10,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

)Orang-orang yang datang sesudah mereka (MuHajirin dan Ansar) berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”(

 

Tinggalkan Balasan

Search