Rahman memberi komentar atas kebijakan Umar tersebut:
menjadi motivasi Umar adalah pertimbangan keadilan sosial ekonomi dan ia tidak mau membiarkan negeri-negeri yang luas dibagi-bagikan kepada pasukan Arab muslim sehingga penduduk beserta generasi-generasi kemudian hari terbengkelai.” (Rahman: 273)
“Secara historis hal ini merupakan sebuah fakta yang sedemikian jelas dan tegas, sehingga pernyataan atau perbuatan yang tak dapat disalahtafsirkan seperti inilah yang oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari disebut sebagai “muhkam” atau “manshush”. … jelas sekali pernyataan ini menunjukkan bahwa generasi-generasi muslim di masa lampau tidak terikat oleh apa yang di kemudian hari dinamakan “nash” atau kata-kata yang tertulis di dalam teks.” (Rahman: 273-4)
“Yang di lakukan Nabi terbatas kepada melieu suku-suku bangsa, dan oleh sebab itu, kita tidak dapat melakukan praktek yang sama di mana daaerah-daerah yang luas dan keseluruhan ummat manusia terlibat; jika tidak demikian berarti kita melanggar prinsip-prinsip keadilan yang telah diperjuangkan Nabi selama hayatnya.”
“Umar jelas sekali meninggalkan “Sunnah” Nabi di dalam sebuah masalah penting, namun hal itu dilakukannya demi menegakkan esensi dari “Sunnah” Nabi itu sendiri.” (Rahman: 274).
5. Budak dianiaya Tuannya.
Budak pernah digambarkan sebagai “setengah” manusia, sehingga boleh diapa-apakan oleh pemikiknya, tuannya, hingga digauli pun boleh. Budak disetarakan dengan “sil’ah” (komoditi dagang) sehingga boleh diperjual-belikan. Karena itu, pada kekuasaan sistem monarchi, banyak kaum lelaki dan perempuan jadi budak untuk diperdagangkan, lalu dipekerjakan sesuai keinginan tuannya, dan harus nurut, tunduk, dan patuh. Sehingga dalam satu Hadist digambarkan, “Budak yang lari dari tuannya, akan masuk neraka.”
Pada masa awal Islam, bagaimana nasib Sumayyah, Bilal ibn Rabah, dan lainnya, disiksa oleh tuannya, karena masuk Islam. Itu salah satu gambaran nasib budak pada zaman keNabian. Dan bangsa-bangsa di Timur-Tengah, kawasan Eropa yang melakukan sistem perbudakan yang sama pada masa itu.
Pada zaman Umar, budak dianiaya oleh tuannya, oleh Umar dimerdekakan (Rahman: 279). Kebijakan Umar ini sangat manusiawi dan melindungi harkat dan martabat manusia yang diperbudak kaum kaya, kaum borjuis. Tindakan Umar adalah mengembalikan martabat manusia menjadi manusia yang sesungguhnya: manusia merdeka, merdeka dari segala bentuk perbudakan, penindasan, diskriminasi, dan pelecehan lainnya. Umar pernah berkata, “Apakah kamu akan memperbudak manusia yang dilahirkan oleh Allah dalam keadaan merdeka?”
Bagaiman sikap anda? Karena kebijakan Umar berseberangan dengan teks sharih.
6. Muallaf
Pada zaman Nabi, para muallaf diberi bagian zakat untuk me-lunak-kan hati mereka kepada Islam. Pembagian tersebut berdasarkan firman Allah QS. Al-Taubah/9: 60:
۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pada zaman Umar jadi khalifah, Muallaf tidak dikasih bagian zakat, karena menurut pertimbangan Umar, Islam sekarang sudah kuat, tidak perlu “belas kasihan” para Muallaf untuk memperkuat posisi Islam secara politik.
Prof. Fazlur Rahman memberi komentar atas peristiwa kebijakan Umar atas nash yang jelas-jelas ada nash tekstualnya tersebut, “Tanpa dapat diragukan lagi membuktikan bahwa generasi-generasi muslim yang paling awal, tidak memandang ajaran-ajaran al-Qur’an dan “Sunnah” Nabi Muhammad sebagi ajaran-ajaran yang bersifat statis, tetapi pada dasarnya sebagai ajaran-ajaran yang bergerak secara kreatif sesuai dengan bentuk-bentuk sosial yang beraneka ragam.” (Rahman: 285).
