Ijtihad yang Ada Nash-nya

Ijtihad yang Ada Nash-nya
*) Oleh : Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
www.majelistabligh.id -

B. Tokoh lain yang berijtihad atas nash yang sharih

1. Ali ibn Abi Thalib: Potong tangan: Potong jari

Seseorang pecinta Amirul Mukminin Ali telah melakukan kesalahan dan harus menerima hukuman. Imam Ali as menjalankan hukuman dengan memotong jari-jari tangan kanannya. Setelah menerima hukuman itu, lelaki itu pun segera pergi sambil membawa jari-jarinya yang telah terputus di tangan kirinya sementara darah terus menetes ke tanah.

Di tengah jalan, dia bertemu dengan Ibnul Kawwa, seseorang dari Khawarij dan pembenci Imam Ali as. Dia ingin memanfaatkan situasi itu agar lelaki tersebut membenci Ali. Dengan wajah penuh kasih sayang dan berpura-pura simpati ia bertanya, “Siapa yang telah memotong jarimu?” Laki-laki itu dengan besar hati menjawab, “Jari-jariku telah dipotong oleh penghulu penerima wasiat para nabi, pemimpin kafilah dengan wajah bercahaya di Hari Kiamat, sosok yang paling berhak terhadap Mukminin; Ali bin Abi Thalib, sang pemandu jalan hidayah… Orang pertama (setelah Rasul saw) yang memasuki surga, pejuang gagah berani, penuntut balas orang-orang yang ingkar… penunjuk jalan kebenaran dan kesempurnaan. Apapun yang diucapkannya adalah kebenaran. Pemberani Makkah dan sosok mulia nan setia kepada Rasul saw.”

Ibnul Kawwa berkata, “Celaka kamu! Dia sudah memotong-motong jarimu tapi engkau masih memujinya?!” Lelaki itu menjawab, “Bagaimana aku tidak memujinya sementara kecintaan terhadapnya telah menyatu, meresap ke dalam darah dan dagingku. Demi Allah, dia tidak memotong jariku kecuali semata-mata untuk menjalankan perintah Allah swt atas kesalahan yang aku perbuat.”

Seorang pencuri telah dibawa ke hadapan khalifah. Pencuri itu mengakui perbuat¬annya dan meminta kepada khalifah agar menjalankan hukuman terhadapnya. Khalifah mengundang para fukaha (ahli fikih), termasuk Abu Ja’far as. Khalifah bertanya mengenai “batas manakah tangan pencuri harus dipotong.”

Aku menjawab, “Dari pergelangan tangan.” Khalifah bertanya, “Apa dalilnya?” Aku jawab, ““Yang disebut tangan adalah dari jari hingga perge¬langan tangan, karena Tuhan telah berfirman di dalam ayat (tayyamum): Setelah itu, usaplah tanah ke mukamu dan tanganmu (QS Al-Maidah : 6). Maksud dari tangan di dalam ayat ini adalah jari-jari hingga pergelangan tangan. Sejumlah ahli fikih sepakat denganku bahwa tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangan. Namun beberapa ahli fikih berpendapat bahwa tangan pencuri harus dipotong dari siku, karena Tuhan berfirman dalam ayat wudhu: Basuhlah tangan kalian hingga ke siku, dan ayat ini menunjukkan bahwa batas tangan adalah siku.”

Kemudian Mu’tashim memandang Abu Ja’far as dan bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu?” Abu Ja’far as berkata, “Hadirin dan ulama sudah memberikan jawaban, maka tidak diperlukan lagi pendapatku.” Mu’tashim sekali lagi mendesak Abu Ja’far as untuk menyampaikan pendapatnya. Abu Ja’far as kali ini pun minta maaf.

Akhirnya Khalifah Mu’tahsim berkata, “Demi Tuhan! Sampaikanlah apa yang engkau ketahui tentang masalah ini.” Abu Ja’far as berkata, “Kini, karena engkau menyumpahku atas nama Tuhan, maka aku akan menyampaikan pendapatku. Sebenarnya hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong, dan telapak tangan harus dibiarkan.”

Khalifah Muktashim bertanya, “Apakah dalil dari pendapatmu ini?”

Abu Ja’far as berkata, “Rasul saw telah bersabda: ‘Sujud dilakukan dengan tujuh anggota badan; wajah (kening), dua telapak tangan, dua lutut, dua kaki (dua jari (jempol) besar kaki).’ Oleh karena demikian, jika tangan pencuri diputus dari pergelangan tangan sampai siku atau sampai pergelangan tangan, maka tidak ada tangan yang tersisa untuk memenuhi syarat sujud.”

Allah Swt telah berfirman, Dan sesungguhnya tempat-tempat sujud kepunyaaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah. Maksud dari tempat sujud adalah tujuh anggota badan yang digunakan sujud, dan apa yang untuk Allah tidak boleh diputus.”

Khalifah Mu’tashim setuju dengan fatwa Imam dan memerintahkan agar jari-jari pencuri itu saja yang dipotong. Ibnu Abi Du’ad berkata, “Saat itu, aku merasa sudah kiamat dan aku merasa lebih baik mati dan tidak menyaksikan kejadian yang sangat merendahkanku itu.”

Jadi, dalam masalah potong tangan pun, sahabat, dan saat kekhalifahan Abbasiyah, berbeda pendapat. Ada alternatif hukum yang ditawarkan oleh mereka, tergantung kita untuk mencernanya. Koruptor pada zaman klasik tidak ada contohnya, bagaimana kalua koruptor dihukum mati, adakah nash sharihnya?

2. Prof. Amien Rais: Zakat Profesi

Zakat Profesi pernah menjadi perbincangan hangat di tahun 80-90-an, karena dianggap “menyalahi” fiqih umum yang diketahui masyarakat, sesuai yang diajarkan di sekolah, madrasah, pesantren, kajian-kajian yang selama ini diajarkan di surau, mushalla, dan masjid-masjid. Adalah DR. Amien Rais, seorang intelektual muslim muda yang progresif, yang menggagas ide adanya Zakat Profesi. Ulama’, cendekiawan, para khatib, guru ngaji, jurnalis, dan beragam profesi lainnya, memperbincangkan isu Zakat Profesi tersebut. Cendekianwan sekelas Kang Jalal, Cak Nun, Prof. Masfuk Zuhdi, dan lainnya, juga membehas tentang Zakat Profesi tersebut. Ide brilian yang sangat monumental, menggoncang sendi-sendi fiqih tradisional, seolah tak terjamah oleh fikih lama, karena zaman itu, mungkin belum ada profesi yang digaji melebihi gaji seorang petani, kekayaan seorang pedagang, sehingga luput dari pengamatan fiqih. Adalah “terawangan” mendalam dan pandangan yang tajam dari kejeniusan seorang scholar sospol berbicara tentang fiqih kontempo

Zakat Profesi dibahas panjang lebar oleh DR. Amien Rais dalam buku kumpulan makalahnya, “Cakrawala Islam” yang diterbitkan oleh Mizan. Zakat Profesi adalah zakat atas penghasilan yang dihasilkan dari profesi, keahlian, atau pekerjaan seseorang. Zakat Profesi secara nash tidak disebutkan secara leterlek dalam nash sharih tentang zakat, di luar yang disebutkan oleh nash seperti zakat perdagangan, pertanian, emas, tambang, dan lainnya. Karena tidak disebutkan secara sharih oleh nash, misalnya dari kalangan Salafi Indonesia, misalnya Ust. Khalid Basalamah, Ust. Syafiq Riza Basalamah berpendapat bahwa “penghasilan yang berasal dari profesi tidak ada zakatnya” karena “tidak ada dalilnya.” Kata Ust. Syafiq, “Pada zaman Nabi ada profesi, jadi penulis, …, tetapi tidak pernah disebut oleh Nabi saw. untuk dizakati, karena itu, zakat profesi tidak ada.” Namun Ust. Dzulqarnain dari Makkasar menerima adanya zakat profesi, nishabnya diqiyaskan dengan zakat Mal. Sedang DR. Erwandi Tarmizi, juga menerima adanya zakat pr

Ulama’ muda Muhammadiyah, Ust. Adi Hidayat menyatakan, Zakat Profesi ada dalilnya, diambil dari dalil umum tentang “infaq” dan “amwal”. Tidak semua yang tidak disebut, lalu tidak ada di dalam al-Qur’an. Sesuatu itu bisa diambil dalilnya dari dalil umum, muthlaq, khash, muqayyad, mubayan dan lainnya. Kata Ust. Adi Hidayat, “Tentang zakat Profesi misalnya, dapat diambil dari dalil umum QS. Al-Baqarah/2: 267:”

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Tidak ada yang mengatakan bahwa gaji, pendapatan, salary dari hasil profesi bukan “hasil usaha” (ma kasabtum), karena itu, profesi wajib dikenai zakat. Hasil pertanian dengan jumlah akumulasi kekayaan yang tidak seberapa dikenai zakat, sedang gaji dari profesi tertentu hingga menghasilkan uang ratusan juta hingga milyaran tidak dikenai zakat profesi karena tidak ada dalil yang sharih, sangat naif.

Sedang nishab zakatnya, menurut Ust. Adi, diqiyaskan dengan zaat pertanian, sehingga cara mengeluarkan zakatnya tidak menunggu sampai satu tahun (haul), namun langsung saat menerima gajian, seperti hasil pertanian yang dikeluarkan saat panen selesai.

وأتوا حقه يوم حصاده

(Dan hendaklah kalian mengeluarkan hak-nya saat selesai memanen)

 

Tinggalkan Balasan

Search