Ijtihad yang Ada Nash-nya

Ijtihad yang Ada Nash-nya
*) Oleh : Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
www.majelistabligh.id -

Ulama’ muda NU, Gus Baha’ mengatakan tentang Zakat Profesi ini, “Petani gabah, jagung, gandum, dikenai zakat, karena disebut sebagai bagian dari zira’ah, padahal sekarang, petani kakau, cengkeh, merica, tembakau, dan lainnya, dengan hasil milyaran, gak wajib zakat karena tidak masuk bab “zuru’”, itu namanya fiqih tanpa nurani.” “Petani yang “kere” (miskin) dikenai zakat?, yang menghasikan ratusan juta bahkan milyaran, tidak dikenai zakat, karena tidak disebutkan secara leterlek, di mana nuraninya?” Hukum itu tetap pada prinsip umumnya yaitu:

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما

“al-Hukmu yaduru ma al-‘illat wujudan wa ‘adaman”

(hukum ada karena ada atau tidak adanya ilat)

Pada zaman Nabi, pernah ada sahabat Nabi yang bertanya tentang zakat sayur-mayur, Nabi menjawab, “Hadhrawat laisa fiha syai’u.” (sayuran tidak ada zakatnya). Karena yang ditanam hadlrawat pada zaman itu di Galengan, di pematang sawah, dalam jumlah terbatas. Sekarang petani sayuran dalam jumlah hektaran dengan omset ratusan juta hingga milyaran rupiah.

“Begitu juga, Dirut Pertamina, tambang, dirut BUMN lainnya, per bulan dapat milyaran rupiah, terus gak dikenai zakat karena tidak ada dalil sharih yang menyebutkannya, di mana nuraninya?. Untung para pemikir Muhammadiyah, NU, mau berfikir keras dan maju.” Kata Gus Baha’. Mengutip cerita Muhammad Assegaf, pengacara mantan Peresiden Soeharto, kata Gus Baha’: “Tarif kepengacaraannya 1 milyar, kalah atau menang.”

Dulu orang gak kebayang bahwa tenaga profesional mampu menghasilkan “salary” yang tinggi. Yang terlihat dan terpantau hanya pertanian, dagang, emas, perak, dan tambang, sehingga zakat tak terfikirkan. Sekarang zaman berbeda, perkembangan keahlian sehingga mencetak banyak tenaga profesional, ternyata menjadi sumber kekayaan yang tak terbayangkan. Untung, jika mau disebutkan seperti itu, Allah Maha Tahu dan Bijaksana, dengan menyebutkan kalimat umum, “… Ma kasabtum” sehingga semua jenis pekerjaan yang menghasilkan kekayaan, dikenai zakat.

Dalil selanjutnya adalah “Hudz min amwalihim, bukan min zuru’ihim. ” Jadi, jenis harta apa saja, bila masuk dalam kategori “amwal”, wajib dikenai zakat.

3. Munawir Sadzali: Waris 1:1

Pembagian waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 11,laki-laki dapat 2 bagian, sedang perempuan dapat 1 bagian.

يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين

(Allah mewasiatkan kepada kamu tentang bagian waris anak-anak kamu, seorang laki-laki mendapat warisan sepadan dengan dua bagian perempuan)

Pembagian waris antara laki-laki dengan perempuan 2 : 1 (dua banding satu) pada zaman itu adalah keadilan, karena perempuan banyak bekerja di ranah domestik (rumah tangga), sehingga yang banyak bekerja adalah laki-laki. Sedangkan sekarang, pekerjaan laki-laki dengan perempuan hampir sama. Ada di pertanian, perkantoran, pendidikan, tambang, dan lainnya, sehingga pembagian 1 : 1 (satu banding satu) adalah pembagian yang paling rasional, dan mencerminkan keadilan yang sama-sama bekerja. Di antara argumen yang diajukan Prof. Munawir Sjadzali adalah sebagai berikut:

Pertama, bagian warisan antara laki-laki yang dua kali lipat dari bagian wanita, tidak mencerminkan semangat keadilan bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan dari ketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama, dengan cara melakukan hailah, yakni dengan cara menghibahkan harta bendanya kepada putera-puterinya ketika orang tua tersebut hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakat muslim terhadap hukum waris dalam Al-Qur’an.

Kedua, faktor gradualitas. Menurut Munawir, wanita pada masa jahiliyah tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang, wanita diangkat derajatnya dan diberi warisan walaupun hanya separo dari bagian laki laki. Pengangkatan derajat wanita dengan diberinya warisan ini tidak secara langsung disamakan dengan laki-laki, tetapi dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaran Islam sebagaimana kasus pengharaman khamer. Kemudian oleh karena pada masa modern ini wanita memberikan peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka merupakan suatu yang logis bila warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.

Ketiga, bahwa bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan dikaitkan dengan suatu persyaratan bahwa laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak isteri, bahkan orang tua maupun adik.

1:1 (satu banding satu) adalah model pembagian yang diusulkan oleh mantan Menteri Agama RI, Prof. Munawir Sjadzali. Ide yang dibungkus dengan ide “Reaktualisasi Ajaran Islam” mendapat berbagai respon, mulai dari yang lembut, setuju, setuju dengan catatan, menolak, dan bahkan menghardik. Orang biasa, ulama, bereaksi atas ide reaktualisasi Prof. Munawir karena “melawatan” teks yang jelas-jelas ada. Tapi dalam realitas, benar apa yang dikatakan Prof. Munawir, masyarakat kita “ambigu”, tidak menyelesaikan pembagian waris menurut ilmu Faraid, tapi banyak lari ke hukum adat, pengadilan umum bikan pengadilan agama, pembagian dibagi rata antara waris laki-laki dengan waris perempuan, terjadi hibah dan sejenisnya, untuk menambahi pembagian yang dianggap “kurang”, san seterusnya.

4. Masdar Faried Mas’udi: Pajak sebagai Zakat

Gagasan K.H. Masdar Mas’udi, mantan pengurus PBNU, tentang pajak disamakan dengan zakat, dituangkan dalam bukunya, Agama keadilan: risalah zakat (pajak) dalam Islam. Melalui pendekatan Sejarah “pungutan” terhadap rakyat kecil yang dilakukan oleh penguasa, Adalah cikal-bakal formalisasi pajak dalam Sejarah politik modern. “pungutan liar” yang dilakukan oleh kelompok kuat kuat kepada kelompok lemah, disamping untuk “melindungi” jiwa mereka dari ancaman fisik bila menolak, “pungli” juga sebagai “ladang kehidupan” bagi kelompok kuat sebagai sumber kehidupan mereka. Pungli yang dipungut juga sebagai jaminan, bahwa hak-hak kelompok yang dipungut “dilindungi” oleh para pemungut. Tentu hasil pungutan tersebut dibagi dan dipergunakan untuk survival organisasi pemungut “iuran” biar lebih tertata dan tidak kacau pendistribusiaannya dan jaminan keberlangsungan organisani liar tersebut. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal “pajak” yang diambil alih oleh negara, yang notabenenya juga, “negara” pada asalnya juga berawal

Sedang pajak, asal muasalnya adalah “jizyah” (arti asalnya: “balasan”, kompensasi) yang diterapkan kepada non muslim yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam sebagai jaminan atas perlindungan hak-hak mereka sebagai warga negara. Berikut antara lain kutipan yang menjelaskan:

“Jizyah yang pada mulanya hanya diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari negara. Kemudian seiring perkembangan wilayah Islam diberlakukan system pajak yang disebut dengan jizyah yang pada mulanya hanya diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari negara. Begitu pula tanah-tanah hasil penaklukkan dengan perjanjian damai yang tetap dianggap milik penduduk setempat namun konsekuensinya mereka diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.”

Zakat dan pajak, sebenarnya mempunyai hubungan dalam konsep keagamaan (keruhanian) dan konsep keduniawian (kelembagaan). Zakat dan pajak bukanlah hubungan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud dialektis. Menurutnya, zakat merasuk ke dalam pajak sebagai ruh dan jiwanya, sedangkan pajak memberi bentuk pada zakat sebagai badan atau raga.

Hakikat membayar pajak pada saat ini sama saja dengan membayar zakat, hanya saja tidak disadari. Oleh karena itu, setiap orang yang membayar pajak harus disertai dengan nilai membayar zakat

Keduanya berbeda, tetapi tidak untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagaimana tercermin dalam konsep zakat, harta diserahkan kepada Negara sebagai kelembagaan kepentingan manusia dalam mengatur kehidupannya. Sedangkan untuk Tuhan, cukup niat yang menjiwai dan melatar-belakangi penyerahan pajak itu saja.

Pada awal formasi Islam, bagi kaum muslim diwajibkan membayar zakat yang diserahkan kepada Amil Zakat, yang kemudian pada zaman Umar ibn Khaththab dilembagakan menjadi Baitul Mal –sekarang mirip dengan lembaga kementerian keuangan—dan bagi non uslim membayar jizyah atau “kharaj” (pajak). Keduanya sama-sama diserahkan kepada lembaga Amil Zakat, tetapi jangan dimaknakan dengan Amil Zakat swasta sperti di Indonesia. Namun harus dimaknai dengan “Lembaga Pendapatan Negara” yang mirip dengan kementerian keuangan.

Dengan ide Kyai Masdar ini, menghincari penduduk khususnya yang muslim untuk “double accounting” (membayar dua kali): 1. Zakat kepada Amil Zakat; 2. Pajak kepada negara. Padahal penghasilannya satu.

Tinggalkan Balasan

Search