C. Di mana Posisi Muhammadiyah?
Muhammadiyah membatasi diri jika ijtihad terhadap masalah yang ada nash sharihnya. Jika berkenan dengan masalah ibadah mahdlah, maka Muhammadiyah bersikap tawaquf (berhenti, menerima apa adanya sebagaimana yang ada di dalam nash sharih). Misalnya jumlah shalat zhurhur 4 rakaat, Muhammadiyah menerima “apa adanya” seperti yang ada di dalam teks (nash). Haji di bulan Dzul Hijjah, Muhammadiyah tidak pernah mengusulkan untuk merubah pelaksanaan Haji di bulan Rajab misalnya, karena Haji masuk kategori ibadah mahdlah; namun berkenan dengan perangkat Haji misalnya zaman Nabi naik kendaraan Onta, sekarang boleh menggunakan “badal” kendaraan lainnya, seperti Pesawat, Bus, atau Kereta Api, karena itu berkaitan dengan ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, meski di dalam nash Hadits dikisahkan bahwa Nabi naik Haji mengendarai Unta.
Muhammadiyah menyikapi ijtihad terhadap perkara yang ada nash sharihnya, misalnya dalam penentuan “Hilal” untuk tanggal 1 (satu) bulan Qamariah, Muhammadiyah mengambil sikap “memilih” di antara 2 (dua) pilihan: 1. Metode Ru’yah (melihat secara “langsung” bulan); 2. Metode Hisab (menggunakan pendekatan matematik dalam menentukan Hilal). Muhammadiyah memilih Metode Hisab.
Jika dalam masalah ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, Muhammadiyah membuka diri untuk melakukan ijtihad. Misalnya sabda Nabi tentang penentuan bulan baru Qamariah dalam kalender Hijriyah, Muhammadiyah memilih pilihan Metode Hisab dibandingkan dengan menggunakan Metode Ru’yah.
Praktik Nabi dan Shahabi jelas-jelas menggunakan rukyah mata telanjang, kecuali jika gelap, mendung, atau apa pun yang menghalangi untuk melakukan ru’yah, maka pakai “hisab”, dengan menggenapkan “hitungan” bulan. Meskipun aslinya, hadits-hadits yang berkenaan dengan penentuan bulan baru Qamariah bersifat “pilihan” (khiyariyah), Muhammadiyah menentapkan dirinya untuk menggunakan Metode Hisab. Banyak sudah argumen yang dikemukakan oleh Muhammadiyah atau pun yang bukan Muhammadiyah tapi mendudukung gagasan Muhammadiyah, untuk dibaca di sana! Di sini hanya menyinggung prinsipnya saja.
Atas pilihan Muhammadiyah tersebut, ada yang menuduh Muhammadiyah “Meninggalkan nash, karena nash-nya jelas-jelas ada.” Ada juga yang menuduh Muhammadiyah melakukan “bid’ah”. Atas tuduhan tersebut, Muhammadiyah tidak bergeming atas pilihan ijtihadnya dengan berbagai pertimbangan:
1. Secara naqli, Muhammadiyah tidak meninggalkan dalil sharih yang ada, cuma memilih di antara alternatif perintah yang ada di dalam dalil.
2. Muhammadiyah memandang bahwa perintah tersebut bukan bagian dari ibadah mahdlah, namun ghairu mahdlah, yang bersifat keduniawian, namun dikaitkan dengan amaliah ubudiyah, sehingga masih bisa dibedakah mana yang ibadah mahdlahnya dengan ibadah yang ghairu mahdlahnya, antara yang ibadah murni dengan yang muamalah duniawiyah.
3. Muhammadiyah memahami teks tidak berhenti pada teks (nash) itu sendiri, namun difahami dari sisi semangat teks yang ada (asbab al-wurud) dan perkembangan niali-nilai baru yang berkembang, sesuai dengan semangat zaman (al-hikmah), sehingga dapat dimanfaatkan mashlahahnya untuk sains (ilmu pengetahuan) itu sendiri dan kemanusiaan.
4. Muhammadiyah tidak pernah menafikan hasil ijtihad lainnya (al-ijtihadu la yunqadl bi al-ijtihad), sehingga tidak mensahkan amaliah yang lain karena berbeda metode yang dipakai.
5. Dalam realitas perkembangan sains dan sosial, sudah tidak memadai pendekatan ru’yah dalam menghadapi perkembangan sains dan sosial. Bagaimana besuk atau lusa ditentukan hari raya, belum ada kepastian, karena tergantung pada visibelitas hilal.
Muhammadiyah pernah “setengah menantang” secara tidak langsung metode Hisab yang digunakannya kepada yang menentang dan yang mengkritik metodenya, saat terjadi Gerhana Matahari Total pada tahun 1980-an, “Apakah Metode Hisab Muhammadiyah akurat ataukah “meleset”?” ternyata tepat secara tanggal, jam, menit, berapa derajat, dan seterusnya.
Sekarang, sebutlah firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 187: dalam penggunaan penentuan sahur saat mau Puasa, jelas-jelas disebutkan menggunakan “benang” (al-al-khaith). Yang belum banyak disinggung oleh para pengkaji masalah Ru’yah dan Hisab.
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
(Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.)
Jelas, praktik Nabi dan Shahabi saat ayat al-Qur’an di turunkan untuk mendapatkan informasi batas waktu sahur, menggunakan “benang” (al-khaith) sebagai alatnya. Lalu jika saat sekarang tidak menggunakan benang untuk mengetahui “fajar”, misalnya pakai jam digital, jam dinding, jam tangan, dan lainnya, yang jelas-jelas meninggalkan nash yang sharih, tidak boleh, karena “bertentangan” (tanaqudl) dengan nash? Muhammadiyah menerima adanya perubahan penggunaan alat untuk mengetahui “fajar” yang sesuai dengan perkembangan zaman melalui “ijtihad ‘ilmi”. Mengapa? Karena penentuan “mengetahui waktu” berkaitan dengan urusan ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, sehingga terbuka pintu ijtihad. Penggunaan alat bukan ibadah, an sich, itu sendiri. Sehingga penggunaan alat digital atau pun non digital yang bisa sampai pada akurasi penentuan waktu, bisa dipergunakan, tanpa harus menggunakan “benang”, meski di teks al-Qur’an jelas-jelas menggunakan kata “al-al-khaith” (benang). Apakah kemudian dituduh tida
Dalam masa pandemi Covid-19, Muhammadiyah mengambil sikap dalam masalah shaf shalat berjamaah, dengan mamatok jarak tertentu (shaff distance) sebagai upaya menghindari terjadinya penularan Covid-19. Ada dua pendekatan yang digunakan Muhammadiyah: 1. Pendekatan sadd al-dzari’ah; 2. Pendekatan dlarurat.
Sadd al-dzari’ah sebagai upaya membendung agar meminimalisir penularan dengan menjauhi kontak langsung dengan orang lain. Sedang pendekatan dlarurat, segala sesuatu manakala menghadapi kondisi genting dan membahayakan, memboleh sesuatu yang diarang, memubahkan sesuatu yang asalnya keharusan. Dengan dua dalil istibathi tersebut, Muhammadiyah hendak merealisasikan hak-hak dasar kemanusiaan dengan menyelamatkan nyawa (hifzh al-nafs), menghindari diri dari terpapar penyakit ganas (hifzh al-jism) agar agama terselamatkan, duniwiyah dapat diraih. (*)
