“Jangan malu hidup sederhana” bukan sekadar nasihat—ia adalah ajakan untuk kembali pada nilai-nilai kejujuran, ketenangan, dan rasa cukup. Di tengah dunia yang sering mengukur nilai seseorang dari penampilan dan kepemilikan, kesederhanaan justru menjadi bentuk keberanian dan kebijaksanaan.
Jangan malu hidup sederhana. Malulah kalau hidupmu penuh kepalsuan demi dinilai orang lain. Kadang yang sederhana itu lebih dekat dengan berkah, sementara yang mewah justru dekat dengan beban.
Jangan pernah malu untuk terlihat sederhana. Hidup adalah ibadah yang penuh ujian. Kesederhanaan hidup membuatmu tahu apa makna berkecukupan.”
Fenomena gaya hidup hedonis ini seperti arus deras yang menggoda banyak orang untuk mengukur nilai diri dari penampilan, kepemilikan, dan validasi sosial. Padahal, di balik “tampil wah” sering tersembunyi kelelahan batin, tekanan finansial, dan hilangnya jati diri.
Hedonisme Sosial: Ketika “tampil” lebih penting dari “menjadi”
* Media sosial sebagai panggung: Banyak orang merasa harus selalu terlihat sukses, bahagia, dan glamor. Padahal yang ditampilkan belum tentu mencerminkan kenyataan.
* Perlombaan semu: Gaya hidup konsumtif sering membuat kita berlomba dalam hal yang tidak esensial—barang branded, liburan mewah, atau gaya parenting yang “instagramable”.
* Harga yang dibayar: Demi citra, banyak yang rela berhutang, kehilangan waktu berkualitas, bahkan mengorbankan prinsip.
Mengapa Hidup Sederhana Itu Mulia?
* Kemewahan tidak menjamin kebahagiaan: Banyak orang bergelimang harta tapi tetap merasa kurang. Sementara mereka yang bersahaja bisa tertawa dengan hati yang lapang.
* Kesederhanaan melatih rasa syukur: Hidup apa adanya membuat kita lebih mudah melihat nikmat kecil yang sering terlewat.
* Terhindar dari kebahagiaan semu: Gaya hidup mewah kadang hanya menambah beban, bukan ketenangan.
* Meneladani Nabi dan para sahabat: Mereka memilih hidup sederhana meski mampu hidup mewah. Kesederhanaan adalah cerminan hati yang rendah dan jiwa yang tidak tamak.
Kesederhanaan sebagai bentuk kemerdekaan
* Tidak terikat citra: Orang yang hidup sederhana tidak terjebak dalam ekspektasi orang lain.
* Lebih fokus pada makna: Kesederhanaan membuka ruang untuk refleksi, ibadah, dan hubungan yang tulus.
* Meneladani Rasulullah ﷺ: Beliau hidup bersahaja, namun memiliki pengaruh dan kemuliaan yang luar biasa.
Hidup sederhana dalam Al-Qur’an bukan hanya dianjurkan—ia adalah bagian dari akhlak mulia dan bentuk ketaatan kepada Allah. Meski tidak ada ayat yang secara eksplisit berkata “jangan malu hidup sederhana,” banyak ayat yang menegaskan nilai kesederhanaan, larangan berlebihan, dan pentingnya tawadhu’.
1. Surah Al-A’raf Ayat 31
وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Artinya: Makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
Menegaskan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi adalah bentuk ibadah dan kecintaan Allah terhadap hamba yang bijak.
2. Surah Al-Furqan Ayat 67
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.
Prinsip keseimbangan ini adalah inti dari hidup sederhana: tidak boros, tidak pelit, tapi adil dan proporsional
Hidup sederhana adalah cerminan dari akhlak Rasulullah ﷺ yang penuh tawadhu’, syukur, dan kesadaran akan hakikat dunia. Berikut beberapa hadits yang secara langsung menggambarkan kesederhanaan beliau, baik dalam gaya hidup, konsumsi, maupun sikap sosial:
1. Kesederhanaan dalam Makan
“Rasulullah ﷺ tidak pernah merasa kenyang karena makan roti atau daging, kecuali jika sedang menjamu tamu.” (HR. Tirmidzi)
Ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjadikan makanan sebagai sumber kenikmatan berlebihan, melainkan sebagai kebutuhan secukupnya.
2. Doa Meminta Rezeki Secukupnya
“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah ﷺ tidak meminta kekayaan melimpah, tetapi cukup untuk hidup dengan tenang dan bersyukur.
3. Larangan Berlebihan dalam Wudhu
“Kenapa berlebih-lebihan seperti ini?” Sa’ad menjawab: “Apakah dalam wudhu ada yang dianggap berlebihan?” Rasulullah menjawab: “Ya, meskipun kamu berada di atas sungai yang mengalir.” (HR. Ibnu Majah)
Bahkan dalam ibadah, beliau mengajarkan prinsip kesederhanaan dan efisiensi
4. Sederhana dalam Berpakaian dan Tempat Tinggal
Rasulullah ﷺ dikenal memakai pakaian bersih namun tidak mewah, dan tinggal di rumah yang sangat sederhana. Beliau tidur di atas tikar, dan ketika Umar bin Khattab menangis melihat bekas tikar di tubuh Nabi, beliau bersabda:
“Tidakkah engkau ridha jika bagi mereka dunia, dan bagi kita akhirat?”
(Makna hadis ini tercermin dalam berbagai riwayat tentang zuhud dan kesederhanaan beliau)
