Jika Kecurangan Jadi Teladan, Generasi Apa yang Muncul?

Jika Kecurangan Jadi Teladan, Generasi Apa yang Muncul?
*) Oleh : M. Mahmud
Ketua PRM Kandangsemangkon Paciran Lamongan Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Saat kecurangan dinormalisasi, anak-anak belajar bahwa “hasil” lebih penting daripada “jalan”. Mereka tumbuh dengan kompas moral yang diputar, cermin nurani yang buram, benih karakter yang lemah, dan pelita integritas yang redup.

Ciri-ciri generasi yang dibesarkan oleh teladan kecurangan

* Etika transaksional: Kebenaran diukur oleh manfaat pribadi, bukan amanah atau keadilan.

* Normalisasi tipu daya: Berbohong, manipulasi, dan memanipulasi aturan dipandang sebagai kecerdikan, bukan cacat karakter.

* Sinisme sosial: Kepercayaan publik runtuh; mereka menganggap semua orang “pasti curang,” sehingga saling curiga mengikis gotong royong.

* Kepemimpinan bayangan: Figur berpengaruh mengajarkan performa, bukan amanah; kompetensi diganti koneksi, merit diganti manipulasi.

* Pembelajaran dangkal: Fokus pada skor, bukan proses; kreativitas kerdil, keberanian moral hilang.

* Ketahanan semu: Tangguh di permukaan, rapuh di batin; takut ketahuan, bukan takut berkhianat.

Dampak jangka panjang pada ekosistem sosial

* Runtuhnya kepercayaan dan tata kelola: Ketika korupsi dan kecurangan dianggap “cara yang berlaku,” ia menggerogoti tatanan moral, ekonomi, dan budaya, merembes ke perilaku sejak dini.

* Degradasi nilai melalui media dan kultur: Arus teknologi tanpa etika mempercepat normalisasi perilaku menyimpang di kalangan muda.

* Hilangnya fondasi kejujuran: Kejujuran sebagai nilai dasar memudar, melemahkan etika publik dan pribadi.

Di sekolah:
* Prestasi palsu: Laporan bagus tanpa proses belajar; kolaborasi berubah jadi konspirasi.
* Guru kehilangan otoritas moral: Ketika teladan curang lebih berpengaruh daripada nasihat jujur.

Di kerja:
* Budaya KPI tanpa nurani: Target tercapai lewat manipulasi; kualitas, keselamatan, dan keadilan dikorbankan.
* Karier lewat “jalur belakang”: Meritokrasi melemah; talenta pergi, mediokrasi naik.

Di keluarga:
* Warisan rapuh: Anak belajar menutupi aib, bukan memperbaiki salah; dialog jujur diganti drama.
* Ritual tanpa ruh: Nilai diajarkan sebagai slogan, bukan kebiasaan yang hidup.

Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kurangnya kejujuran di kalangan anak muda. Salah satunya adalah tekanan sosial yang semakin tinggi. Dalam survei yang dilakukan oleh UNICEF, anak muda di Indonesia menyatakan bahwa mereka merasakan tekanan yang lebih besar untuk sukses dibandingkan generasi sebelumnya.

Tekanan ini sering kali mendorong mereka untuk mengambil jalan pintas, termasuk berbohong, untuk mencapai tujuan mereka. Selain itu, pengaruh media sosial yang begitu kuat juga telah mengubah cara pandang kaum muda terhadap kejujuran, di mana pencitraan diri yang positif sering kali lebih diutamakan daripada integritas (UNICEF)

Upaya Membangun Karakter Jujur di Kalangan Anak Muda

Membangun kembali karakter jujur di kalangan anak muda Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pendidikan karakter di sekolah dan keluarga harus diperkuat, dengan memberikan contoh nyata tentang pentingnya kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, perlu adanya peningkatan kesadaran akan dampak negatif dari ketidakjujuran, baik bagi individu maupun masyarakat luas

Jawaban singkat:
Al-Qur’an menegaskan bahwa jika kecurangan dijadikan teladan, maka akan lahir generasi yang rusak moralnya, kehilangan keadilan, dan terancam azab Allah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran:

1. QS. Al-Muthaffifin (83): 1–3
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ
Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!
(Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi.
(Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.

Ayat ini menegaskan bahwa kecurangan adalah sumber kehancuran, bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi masyarakat yang menormalisasikannya.

2. QS. Al-An’am (6): 152
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ
Artinya: Janganlah kamu mendekati (menggunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil sekalipun dia kerabat(-mu). Penuhilah pula janji Allah. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil pelajaran.”

Menunjukkan bahwa keadilan dalam transaksi adalah fondasi masyarakat yang sehat. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search