Jilbab Bukan Seragam: Konsistensi Ayah-Bunda Menjaga Aurat di Rumah

Jilbab Bukan Seragam: Konsistensi Ayah-Bunda Menjaga Aurat di Rumah
*) Oleh : Ahmad Afwan Yazid, M.Pd
Wakil Kepala SD Muhammadiyah 4 Kota Malang, Praktisi Pendidikan dan Parenting Keluarga
www.majelistabligh.id -

Menyekolahkan anak di institusi pendidikan Islam, baik itu SDIT, SMPIT, atau Madrasah adalah langkah mulia yang diambil oleh Ayah dan Bunda. Ini adalah investasi akhirat, sebuah upaya untuk menanamkan fondasi keimanan yang kokoh.

Namun, seringkali muncul sebuah fenomena yang menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa anak terlihat sangat Islami di sekolah, tetapi tidak di rumah?

Kasus yang paling kentara adalah masalah menutup aurat. Anak perempuan yang di sekolah rapi dengan jilbab panjang dan gamis, saat tiba di rumah, atau yang lebih ironis, saat beraktivitas dan diunggah ke status media sosial, terlihat tidak mengenakan penutup aurat sempurna, bahkan dengan pakaian yang sangat minim.

Tidak semua bisa dibagikan kepada khalayak umum, sebagai orangtua harus pandai menyaring apa yang dapat dibagikan dan apa yang tidak, karena terkadang orangtua lupa bahwa yang mereka bagikan bersifat pribadi dan sensitif. Ini bukan sekadar masalah pakaian, melainkan cerminan dari Inkonsistensi Lingkungan Pendidikan.

Menutup Aurat adalah Kewajiban Permanen

Kewajiban menutup aurat bagi perempuan mukallaf (yang sudah baligh) adalah hukum syariat yang berlaku mutlak, tidak terikat pada ruang, waktu, atau status sosial. Kewajiban ini harus diajarkan dan dilatih sejak dini (usia tamyiz). Allah SWT berfirman tentang kewajiban jilbab (penutup aurat):

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Hal ini diperkuat oleh Hadis Rasulullah SAW yang menegaskan batasan aurat:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: يَا أَسْمَاءُ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْه [رواه أبو داوود]

Dari Aisyah RA, bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah SAW pun berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu apabila sudah haid (baligh), maka tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud)

Penyebab utama inkonsistensi ini adalah adanya pemisahan peran yang tajam antara sekolah dan rumah. Harus ada sinergi antara orangtua dan sekolah agar tidak muncul beberapa inkonsistensi berikut:

Pertama, Jilbab sebagai Atribut Formalitas. Di sekolah Islam, jilbab adalah bagian dari seragam. Anak mematuhinya karena itu adalah peraturan, bukan karena kesadaran iman. Begitu seragam dilepas, lepas pula kewajiban itu dalam pikiran mereka. Maka, ini menjadi tugas bagi para orangtua untuk selalu mengigatkan bahwa jilbab bukan formalitas tapi kewajiban.

Kedua, Kurangnya Keteladanan di Rumah. Anak adalah peniru ulung. Jika Ibu (atau kerabat perempuan lainnya) tidak konsisten dalam menutup aurat di rumah (terutama di hadapan bukan mahram), atau jika Ayah tidak konsisten dalam menegakkan adab ini, pesan yang diterima anak menjadi ambigu: “Jilbab itu penting, tapi hanya saat keluar.”

Ketiga, Media Sosial dan Rasa Bangga yang Keliru. Ketika orang tua mengunggah foto atau video anak mereka yang tidak menutup aurat ke publik (Status WhatsApp, Instagram, dll.), mereka secara tidak langsung mengajarkan bahwa, Membuka aurat untuk dilihat orang lain adalah hal yang normal dan tidak melanggar batasan syariat, Pujian dari publik (like/komentar) lebih penting daripada ketaatan kepada Allah.

Peran Sentral Orang Tua: Jadikan Rumah Madrasah Terbaik

Ayah dan Bunda memegang peran kunci untuk menghilangkan “hipokrisi” tanpa disadari ini, menjadikan ketaatan sebagai Gaya Hidup, bukan sekadar Tuntutan Sekolah.

  1. Menanamkan Filosofi, Bukan Hanya Peraturan

Jangan hanya katakan, “Pakai jilbab karena ini aturan sekolah.” Ganti dengan, “Nak, kita memakai jilbab karena ini adalah bentuk cinta dan ketaatan kita kepada Allah. Allah menyayangi hamba-Nya yang taat.”

Jelaskan bahwa aurat adalah kehormatan yang harus dijaga dari mata yang tidak berhak melihatnya, baik di jalan, di sekolah, maupun di lingkungan rumah yang mungkin didatangi tamu.

  1. Kewajiban Pendidikan dan Ta’dib (Mendidik Adab)

Orang tua bertanggung jawab penuh atas pendidikan agama anaknya sejak dini. Rasulullah SAW bersabda:

“Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

Para ulama menganalogikan perintah shalat ini dengan perintah menutupi aurat, yang harus dibiasakan dan ditegakkan sejak anak belum baligh, sebagai persiapan menuju kewajiban penuh.

  1. Keteladanan Ayah dan Bunda (Al-Uswah Al-Hasanah)

Inilah kunci utamanya:

  • Bunda: Jadilah teladan konsisten. Jika Bunda menutup aurat dengan sempurna di luar, pastikan Bunda tetap menjaga batasan aurat di dalam rumah (terutama jika ada mahram dewasa yang menginap atau berkunjung).
  • Ayah (Qawwam): Peran Ayah sangat krusial sebagai pemimpin keluarga (Qawwam). Ayah harus tegas namun penuh kasih dalam mengingatkan dan melindungi kehormatan putrinya, termasuk dengan tidak membiarkan foto-foto yang tidak menutup aurat diunggah ke ruang publik.
  1. Batasi Publikasi di Media Sosial (Menghindari Jariyah Sayyiah)

Tinjau kembali konten tentang anak yang Ayah dan Bunda posting. Setiap foto yang diunggah tanpa menutup aurat sempurna di ruang publik, berpotensi menjadi jariyah sayyiah (dosa yang mengalir) bagi orang tua yang mempublikasikannya, karena telah membuka pintu fitnah dan melanggar perintah menjaga pandangan. Allah SWT berfirman tentang menjaga diri dan keluarga:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6)

Pendidikan Islam yang sejati terjadi di rumah. Sekolah adalah mitra, tetapi rumah adalah pusatnya. Konsistensi orang tua dalam menjadikan jilbab sebagai mahkota ketaatan, bukan sekadar kain penutup, akan menumbuhkan kesadaran iman yang murni.

Jangan biarkan anakmu hanya taat di hadapan guru, tetapi lupa ketaatan di hadapan Allah.

Tinggalkan Balasan

Search