Meluruskan Pemahaman Sesajen dalam Keimanan Islam

Meluruskan Pemahaman Sesajen dalam Keimanan Islam

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Dalam kepercayaan tertentu, sesajen memiliki makna simbolis sebagai bentuk rasa syukur, penghormatan, dan harmoni kepada Tuhan.

Nilai utamanya terletak pada ketulusan dan niat si pemberi sesajen, yang mencerminkan hubungan spiritual antara manusia, alam, dan Tuhan.

Dengan kata lain, sesajen merupakan persembahan berupa makanan, minuman, bunga, dupa, atau benda-benda lain yang biasanya diletakkan di tempat-tempat khusus, seperti altar, pura, pohon besar, atau lokasi yang dianggap keramat.

Dalam Islam, diyakini bahwa sesajen seperti narasi di atas biasanya diperuntukkan kepada selain Allah, dan persembahan seperti ini tidak akan sampai kepada Allah.

Sesajen model seperti ini justru menciptakan hubungan baru dengan makhluk yang dianggap dekat dengan Tuhan.

Dengan sesajen itu, manusia justru dekat dengan “tuhan” tandingan dan jauh dari Tuhan yang sebenarnya, yakni Allah.

Makna Sesajen

Sesajen mencerminkan penghormatan kepada kekuatan Tuhan. Dengan sesajen, manusia menunjukkan rasa syukur dan rasa hormat terhadap entitas yang diyakini membantu dalam menjaga keseimbangan hidup.

Namun, sesajen hasil bumi, seperti padi, buah-buahan, dan makanan yang dipersembahkan kepada kekuatan tertentu, merupakan simbol rasa syukur kepada Tuhan.

Hal itu diwujudkan sebagai respons atas berkah yang diberikan, seperti hasil panen, kesehatan, dan keselamatan.

Sesajen dijadikan perantara untuk “berkomunikasi” dengan Tuhan melalui sesembahan. Bahkan sesajen ini dipercaya sebagai sarana untuk menyampaikan doa, harapan, atau permohonan kepada Sang Penguasa alam semesta.

Kalau manusia berkeyakinan bahwa sesajen yang dikirimkan kepada Tuhan (Allah) melalui perantara akan membuat keinginannya terkabul secara berkelanjutan, padahal Allah sebagai pemilik alam semesta tidak akan menerima cara demikian.

Hal ini dinarasikan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

مَآ أُرِيدُ مِنۡهُم مِّن رِّزۡقٖ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ

“Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 57)

Di sini, Allah tidak membutuhkan rezeki dari manusia, baik dalam bentuk makanan, minuman, atau apa pun dari hamba-Nya.

Justru Allah-lah yang mencukupi seluruh kebutuhan makhluk-Nya. Allah sebagai pemberi jaminan rezeki bagi makhluk dan memiliki kekuatan yang tak tertandingi oleh apa pun. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ

“Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki, yang mempunyai Kekuatan lagi sangat kukuh.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 58)

Kewajiban Beribadah

Manusia sebagai makhluk Allah diciptakan di dunia dengan tujuan tunggal, yakni beribadah, bukan untuk mengumpulkan dan menumpuk harta.

Tetapi kecenderungan manusia justru berlomba-lomba mencari harta hingga terjerumus untuk memperkaya diri. Ketika sukses sebagai makhluk berharta, manusia justru lalai beribadah.

Pada umumnya, ketika sudah hidup berkecukupan, manusia merasa dirinya yang bisa menentukan rezekinya.

Dengan mengandalkan kepintarannya, manusia seolah-olah bisa memperhitungkan rezeki yang diperolehnya.

Bekerja keras, perhitungan yang matang, disiplin yang tinggi, serta relasi yang luas dipandang sebagai faktor penentu melimpahnya rezeki.

Alih-alih beribadah, manusia yang sukses dalam mengumpulkan harta justru melalaikan ibadahnya.

Padahal Allah telah berjanji akan menjamin rezeki para hamba tanpa harus menyandarkan pada usahanya sendiri.

Ketika menyandarkan pada usahanya, manusia justru melupakan dirinya sebagai hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya.

Allah menegaskan dengan kuat bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)

Ketika Allah memberi jaminan rezeki, tetapi manusia justru memastikan bahwa usahanyalah yang menjadi kunci dan sarana datangnya rezeki.

Ketika hal ini tertanam dengan kuat, maka peran Tuhan dikesampingkan dan beralih dengan mengandalkan akalnya.

Kondisi ini akan mengarahkan dirinya untuk mengumpulkan harta dan melupakan tujuan akhiratnya.

Ketika mengandalkan akalnya, manusia terus berkreasi, termasuk dalam menyalurkan rezekinya.

Munculnya tradisi sesajen, yang dipandang sebagai cara untuk memperlancar rezekinya, tidak lepas dari mengandalkan akalnya.

Tipuan setan pun masuk ketika akal sudah mendominasi manusia. Dalam mengungkapkan rasa syukur pun, manusia berkreasi untuk membagi sebagian rezekinya.

Rezeki yang diperolehnya dipersembahkan kepada Allah, dan sebagiannya diberikan kepada selain Allah. Hal ini dinarasikan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا…

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)

Imam As-Sa’di mengomentari ayat ini bahwa manusia sangat bodoh ketika membagi rezeki yang diterimanya kepada berhala.

Padahal Allah-lah yang memberi rezeki, sementara berhala itu tidak mampu berbuat apa pun, termasuk mendatangkan rezeki.

Lebih menyimpang lagi, ketika manusia mempersembahkan sebagian rezeki untuk Allah namun menyebut-nyebut keutamaan berhalanya.

Misalnya, ketika bersyukur kepada Allah karena rezekinya melimpah, manusia menyebut-nyebut jasa jin atas rezeki yang diterimanya.

Padahal semua rezeki datang dari Allah, sehingga pujian itu hanya pantas dipanjatkan kepada-Nya. (*)

Surabaya, 23 Januari 2025

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *