Menumbuhkan Kepercayaan Diri Anak Amanah Para Orang Tua

Menumbuhkan Kepercayaan Diri Anak Amanah Para Orang Tua
www.majelistabligh.id -

Rasa percaya diri merupakan fondasi utama dalam perkembangan anak, baik secara psikologis, sosial, maupun spiritual. Anak yang kurang percaya diri kerap mengalami hambatan dalam mengekspresikan potensi, berinteraksi dengan lingkungan, serta mengambil keputusan penting dalam hidupnya.

Dalam perspektif pendidikan Islam, setiap anak adalah amanah yang memiliki fitrah dan potensi berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendampingan yang adil, proporsional, dan penuh empati agar tidak terjebak dalam rasa minder yang berkepanjangan.

Hal tersebut disampaikan Nuraini, M.Pd., Kaprodi Bimbingan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor saat menyampaikan Materi Seminar Nasional BKI Peduli Bencana Sumatra, secara Daring, Ahad (21/12/2025).

Lebih lanjut Alumni Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung ini menegaskan, pentingnya motivasi berkelanjutan bagi anak-anak yang belum memiliki kepercayaan diri. Menurutnya, anak harus terus didorong melalui beragam kegiatan positif agar merasa dihargai dan mampu.

“Anak yang tidak percaya diri perlu dimotivasi secara konsisten agar ia yakin pada dirinya sendiri dan tidak merasa rendah dibandingkan orang lain,” ujarnya.

Wanita penyuka olah raga berkuda ini menekankan, salah satu langkah strategis adalah menyalurkan hobi dan minat anak sesuai dengan bakat alaminya .

Anak yang diberi ruang untuk berkembang sesuai potensi akan lebih mudah menemukan jati diri dan rasa percaya diri. Pendekatan ini sejalan dengan teori “Multiple Intelligences” Howard Gardner yang menegaskan bahwa kecerdasan tidak tunggal, melainkan majemuk—meliputi kecerdasan akademik, kinestetik, musikal, interpersonal, hingga visual-spasial.

Di sisi lain, Ia juga menyoroti masih kuatnya pandangan keliru di tengah masyarakat yang menganggap anak cerdas dan pintar hanya diukur dari nilai akademik semata. Tidak jarang, anak dinilai berhasil apabila nilai Matematika, MIPA, dan Bahasa Indonesia mencapai rata-rata tinggi, bahkan dianggap ideal jika menyentuh angka 8.

Padahal, ukuran tersebut sering kali mengabaikan prestasi non-akademik yang justru menjadi kekuatan utama sebagian anak.

Menurutnya, prestasi non-akademik seperti olahraga, seni, dan keterampilan juga merupakan capaian yang membanggakan dan bernilai strategis bagi masa depan anak. Banyak anak menemukan jalan hidupnya melalui dunia olahraga, seni, maupun keterampilan profesional yang menuntut disiplin, keberanian, dan ketangguhan mental. Mereka yang menekuni jalur ini juga layak mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh, sebagaimana anak-anak dengan prestasi akademik tinggi.

Sebagai bagian dari penguatan mental dan karakter, alumni Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang menyarankan agar waktu anak di luar jam belajar diisi dengan kegiatan fisik dan sosial, seperti olahraga.

“Jika memungkinkan, misalnya berkuda itu sangat baik untuk melatih keberanian dan mental anak,” ujarnya.

Aktivitas semacam ini membantu anak belajar mengelola rasa takut, meningkatkan fokus, serta membangun kepercayaan diri melalui pengalaman langsung.

Ia juga membagikan pengalaman pribadi dalam mendampingi anak melalui olahraga renang, termasuk mengikutkannya dalam berbagai event kompetisi. Menurutnya, menang atau kalah bukanlah tujuan utama. “Yang terpenting adalah tetap memberi dukungan dan apresiasi agar anak merasa dihargai,” ujarnya.

Pendekatan ini sejalan dengan teori Erik Erikson pada tahap ‘Industry versus inferiority’, di mana anak membutuhkan pengakuan atas usaha agar tidak tumbuh dengan rasa rendah diri.

Dalam perspektif dakwah, pendekatan ini memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an. Allah SWT mengingatkan tentang larangan meninggalkan generasi lemah.  “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisā’: 9)

Karena itu, tugas orang tua dan pendidik adalah menghargai ikhtiar anak sesuai kapasitasnya, bukan menyeragamkan ukuran keberhasilan. Dengan memadukan motivasi, penyaluran bakat, aktivitas positif, serta apresiasi yang tulus, anak akan tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri, bersyukur, dan siap mengabdi melalui jalan terbaik yang Allah karuniakan kepadanya.

Karena sesungguhnya Amanah berupa putra yang di karuniakan kepada setiap Orang tua tergantung cara mendidiknya. Rosulullah menegaskan dalma hadis :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). (harun r. Ar rais, kontributor Bogor)

 

 

Tinggalkan Balasan

Search