Kadang manusia tidak sadar sedang sakit, bukan di tubuh, tapi di hati. Sakit yang tidak terdeteksi oleh alat medis mana pun, tapi perlahan mengikis ketenangan hidup. Ia muncul dari rasa bersalah karena dosa yang dipelihara, dari kebiasaan kecil yang diulang meski tahu salah.
Inilah yang oleh ulama disebut sebagai penyakit dosa dan maksiat. Ia tidak menimbulkan demam, tapi bisa membuat seseorang kehilangan rasa bahagia, kehilangan arah, bahkan kehilangan dirinya sendiri.
Dalam pandangan psikologi, beban moral yang tidak terselesaikan bisa berubah menjadi tekanan psikis yang nyata. Ketika seseorang terus merasa bersalah tapi tidak berani menghadapi, pikirannya akan menolak realitas dengan menciptakan “jalan keluar” palsu — lewat pembenaran diri atau pelarian. Tapi pelarian itu tak pernah menyembuhkan, hanya menunda luka. Seperti orang yang menutup luka bernanah dengan kain bersih, terlihat rapi di luar tapi membusuk di dalam.
Al-Qur’an menyinggung kondisi ini dengan bahasa yang jauh lebih puitis: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Dosa, kata para ulama tafsir, menimbulkan “karat” di hati — noda yang menumpuk setiap kali seseorang mengulang kesalahan tanpa tobat. Saat karat itu menebal, hati menjadi keras, sulit menerima kebenaran, dan akhirnya kehilangan rasa malu terhadap dosa itu sendiri.
Ini bukan metafora moral semata, tapi juga kenyataan psikologis. Karena, semakin sering manusia berbuat dosa dan melanggar nurani, semakin tumpul pula kepekaan jiwanya.
Coba perhatikan hidup kita sehari-hari. Betapa mudahnya kita menormalkan kebohongan kecil, menunda salat, atau membiarkan hati iri tanpa rasa bersalah. Lama-lama, maksiat bukan lagi terasa berat, tapi malah jadi kebiasaan yang dianggap “manusiawi.” Di titik itulah, dosa benar-benar bekerja seperti penyakit — pelan tapi pasti. Ia menggerogoti hati, menular ke perilaku, dan mempengaruhi cara kita memandang hidup. Tubuh bisa tetap sehat, tapi batin menjadi lelah, kehilangan arah dan makna.
Penyembuhan penyakit ini tidak ditemukan di apotek mana pun. Ia dimulai dari kesadaran, diikuti penyesalan, lalu diteruskan dengan perubahan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi).
Artinya, semua orang pernah salah, tapi tidak semua berani bertaubat dan sembuh. Maka, mungkin sudah waktunya kita berhenti menutupi luka batin itu dengan alasan dan mulai menanganinya dengan jujur. Karena hati yang sembuh bukan hati yang tak pernah berdosa, tapi hati yang tak lagi menolak untuk disucikan dengan taubat.
https://lynk.id/faridfi
