Terkadang, kita hidup seolah waktu tak pernah berakhir. Kita berlari, mengejar dan membangun. Dengan keringat yang mengucur deras, dengan mimpi-mimpi yang ditata rapi, kita bangun istana di atas pasir.
Sebuah rumah, benteng bagi segala capaian dan kenangan, kita dirikan dengan keyakinan bahwa itu akan abadi milik kita. Kita percaya bahwa jerih payah ini adalah warisan kekal, tanda bahwa kita pernah ada dan berarti.
Tapi, wahai diri, dengarlah sebentar bisik halus dari realita yang seringkali kita pungkiri.
Rumah yang kau bangun dengan susah payah itu pada masanya akan menjadi rebutan. Dinding-dinding yang menyimpan tawa dan air mata keluarganya akan disekap oleh tangan-tangan baru yang mungkin tak tahu sejarahnya. Ia hanya menjadi aset, properti, bukan lagi saksi bisu perjuangan hidupmu.
Dan tempatmu bekerja, yang kau pikir tak bisa berjalan tanpamu, dengan mudahnya menemukan pengganti. Bahkan saat kau terbaring lemah di kamar rumah sakit, mesin dunia terus berputar. Meeting tetap berjalan, proyek tetap dikerjakan, email tetap terkirim. Nama mu perlahan memudar dari whiteboard, dari percakapan, dari ingatan kolega. Dunia tidak berhenti, ia terus melaju seperti biasa.
Lalu datanglah saat yang tak terelakkan. Saat jiwa berpisah dari jasad. Saat itulah keramaian itu datang. Wajah-wajah yang dikenal, sahabat, kerabat, semua berdatangan. Air mata mereka tumpah, ratapan terdengar dan doa-doa dipanjatkan. Mereka mengantarmu dengan khidmat ke peristirahatan terakhir. Sebuah prosesi penghormatan terakhir.
Tapi, lihatlah. Satu per satu mereka beranjak pergi. Hening mulai menyergap. Hanya tersisa orang-orang terdekatmu yang masih bertahan di samping nisanmu. Seorang ibu, seorang ayah, seorang pasangan atau mungkin anakmu. Mereka menangis, bukan lagi untukmu, tetapi untuk diri mereka yang ditinggalkan. Mereka mengenang senyummu, suaramu, cara kamu memeluk. Itu adalah tangis untuk kehilangan yang mereka rasakan, untuk kenangan indah yang kini hanya menjadi kenangan yang menghantui.
Namun, pada akhirnya, mereka pun harus pulang. Mereka harus kembali ke rumah, meninggalkanmu sendirian dalam kesunyian tanah yang dingin. Mereka tidak bermalam di sana menemanimu. Dunia hidup terus, dan mereka harus hidup di dalamnya.
Malamnya, mungkin sahabat-sahabat terdekatmu berkumpul. Bercerita tentangmu, tertawa mengenang kenakalan masa lalu, lalu makan bersama. Tapi setelahnya, mereka kembali ke kehidupan masing-masing. Besoknya, agenda mereka sudah berbeda. Pikiran mereka sudah disibukkan oleh urusan baru.
Satu bulan kemudian, keluarga pun mulai belajar untuk tidak menangis. Luka mulai menutup, bukan lagi menganga. Mereka mulai bisa tersenyum bahagia lagi tanpa mu. Nama mu mungkin masih disebut, tetapi dengan rasa rindu yang sudah tidak lagi sama.
Satu tahun kemudian, mungkin namamu sudah jarang terdengar. Eksistensimu, sekeras apapun kau berusaha meninggalkan jejak, mulai memudar. Dunia ini masih berputar dengan sempurna. Matahari terbit tanpa membutuhkan kehadiranmu. Bintang-bintang tetap bersinar indah di malam hari. Tempat kerjamu telah diisi oleh orang baru yang mungkin lebih cekatan. Rumahmu telah dihuni oleh keluarga lain dan membuat kenangan mereka sendiri. Hartamu yang kau kumpulkan dengan segala cara, telah habis dibagikan, bahkan mungkin diperebutkan hingga menimbulkan luka baru bagi yang kau tinggalkan.
Lalu, di tengah kesunyian abadi itu, seakan terdengar suara yang menggema dari langit, firman Allah yang menggentarkan jiwa, “فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ”, “Maka ke manakah kamu akan pergi?”
Apa tujuan sebenarnya dari semua pengejaranmu? Untuk siapa semua ini? Untuk apa?
Kalau saja kamu tahu, kamu tidak akan pernah memusingkan cibiran atau pujian manusia. Kalau saja kamu menyadari betapa singkat dan semunya panggung sandiwara dunia ini, kamu akan menghabiskan tenagamu untuk sesuatu yang lebih kekal. Kamu akan lebih peduli pada amal yang akan menemanimu di dalam kubur, bukan sesuatu yang justru akan ditinggalkan.
Ironisnya, kita terlalu cinta pada dunia. Kita mencintainya seakan kita akan hidup di dalamnya selamanya. Kita berperilaku seolah kematian adalah mitos, sesuatu yang hanya terjadi pada orang lain. Padahal, setiap detik nafas kita adalah undur-unduran, langkah yang mendekati pintu yang pasti akan kita masuki, pintu menuju kematian. Semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Maka, renungkanlah!
– Bahwa waktu adalah amanah yang terbuang tak kembali.
– Bahwa harta bisa memberi kenyamanan, tetapi tidak bisa memberi makna abadi.
– Bahwa jabatan dan nama besar adalah amanah sementara, yang menentukan kadar kebaikan kita bukan seberapa banyak orang memujimu, melainkan seberapa banyak kebaikan yang kau tinggalkan untuk mereka.
– Bahwa hubungan yang tulus pada keluarga, pada sahabat, pada sesama, lebih berharga daripada segala akumulasi.
– Bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, meminta maaf, memberi manfaat dan menyiapkan bekal untuk saat tiba giliran kita menjawab pertanyaan akhir: ke mana kita akan pergi?
Jika kau tahu bahwa hidup ini singkat, mungkin kau akan lebih sering berkata jujur, lebih sering memberi maaf, lebih pelan dalam menilai orang lain dan lebih rajin melakukan kebaikan kecil yang tak perlu diumumkan. Kalau kau tahu, mungkin kau tak lagi menyiksa diri dengan keserakahan yang tiada akhir; kau akan menata akhir hidupmu dengan ibadah yang tulus dan kasih sayang yang nyata.
Akhirnya, renungan ini bukan untuk membuatmu takut, melainkan mengingatkan: hidup yang berarti bukan hanya soal apa yang kau tinggalkan secara materi, tetapi tentang jejak kasih yang tak terhapus oleh waktu. Tentang satu tangan yang kau bantu ketika jatuh. Tentang kata maaf yang kau ucapkan saat salah. Tentang anak yang kau didik dengan cinta, tetangga yang kau ulurkan pertolongan, senyuman yang kau bagi kepada yang sendiri.
Jangan tunggu hari terakhir untuk menjadi baik. Jawablah pertanyaan itu sekarang, dengan perbuatan: ke mana engkau hendak pergi, dan apa yang akan kau bawa?
Semoga tiap langkah kita diberkahi, dan semoga saat waktunya tiba, kita dapat pergi dengan tenang karena kita telah mempersiapkan bekal yang bernilai abadi. آمين
