Indonesia pernah melakukan hal yang hebat saat kemerdekaan: Menasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda sebagai konsekuensi kemerdekaan itu sendiri. Padahal perusahaan-perusahaan tersebut asalnya adalah milik Serikat Dagang yang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Karena VOC bangkrut akibat korupsi, maka dianeksasi sepenuhnya oleh Kerajaan Londo. Pasca bubarnya VOC, semua peninggalannya “diwariskan” kepada Kerajaan Londo. Jadi, menasionalisasi adalah memindah tangan kekuasaan perusahaan milik Londo yang diwariskan oleh VOC, menjadi milik negara Indonesia.
VOC aslinya adalah perusahaan dagang, karena sukses berdagang, Kerajaan Londo memberi konsesi, memberi wewenang untuk membentuk pasukan perang sendiri, dengan finansial sendiri, untuk melindungi kepentingan dagang VOC. Asal, VOC tetap Setor Pendapatan kepada kerajaan [negara]. Pada sejarahnya, “Tentara” VOC banyak direkrut dari masyarakat “inlander”, yang disebut “Londo Ireng” untuk menjadi prajuritnya.
Anggota paling banyak dari pasukan tersebut adalah Londo Ireng, karena mereka adalah para “Catam” dari para “Caba”, dan “Akmil” yang dijabat oleh Londo putih. Di Akhir mau kemerdekaan, mereka tergabung dalam KNIL. Dalam sejarahnya, tentara KNIL banyak berulah, misalnya peristiwa Rawa Gede, Westerling, dan RMS.
Trunojoyo, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, para panglima Atjeh, Tengku Cik Di Tiro, Panglima Polim, Tengku Umar, Thut Nya’ Dien, dll., banyak berhadapan dengan pasukan “Londo Ireng” yang dikomandani Londo Putih.
Jadi, Londo Ireng berperang dengan bangsanya sendiri, diadu oleh Londo Putih, dengan cara dibayar sebagai prajurit VOC. Sebangsa tega membunuh sebangsa, konco tega membunuh konco, dulur tego bunuh dulur, karena beda profesi: Prajurit VOC dan pejuang bangsa.
Pasca Kemerdekaan, “orang-orang” RMS (Republik Maluku Selatan) lebih memilih pergi ke Netherland daripada jadi warga Indonesia, karena mereka banyak yang menjadi tentara Londo Ireng.
Kalau sekarang ada New VOC dengan memiliki “Angkatan Perang” sendiri dengan cara menyewa, berarti “sanad”-nya tidak “munqathi”, alias “muttashil”, sehingga secara geneologis, ada “sunnah”-nya, walau sunnah dari VOC. Praktik “sunnah” VOC tersebut ditradisikan untuk melanggengkan kuasaan dan keuangan segelintir pengusaha dan pengusaha (peng-peng: RR).
VOC awalnya murni berdagang, karena ketatnya persaingan antar perusahaan, watak ingin memonopoli muncul. Membangunlah kekuatan, dengan dukungan militer kerajaan, VOC bisa berniaga secara aman dan lancar. Namun pada akhirnya, kerajaan meliberalkan VOC untuk merekrut tentaranya sendiri, di sini termasuk Londo Ireng, untuk melindungi kapitalnya. Mereka join dengan pengusaha dan penguasa lokal, atau pun penguasa besar, seperti Kerajaan Mataram.
Ingat, Amangkurat I terlibat persekongkolan dengan VOC, termasuk kompensasi dan konsesi tertentu dengan Londo Putih. Jadi, kata sejarawan, Kerajaan di Nusantara ini dijajah oleh perusahaan bukan oleh kerajaan Londo. Lucu kan, negara dikalahkan perusahaan, walau sekarang mirip-mirip seperti itu, Kerajaan Londo hanya “mewarisi” kekuasaan yang didapat oleh VOC.
Jadi, Indonesia menasionalisasi yang “private” (Indonesia menjadi: “pribadi”) menjadi milik negara, adalah praktek dari cita-cita yang kemudian diundangkan dalam UUD 1945, pasal 33:
- (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.)
Inilah hulu-nya, Tanah, air, udara, dan seisinya, yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara, dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyatnya. Jadi, negara yang menguasai, bukan di luar negara. Di-NASIONALISASI bukan di-PRIVATISASI, bukan di-SWASTANISASI, bukan di-INDIVDUALISASI, atau pun di-KELOMPOK-isasi. Kalau diobral, itu namanya di-LIBERALISASI saudara dari PRIVATISASI.
Apakah negara tak kuasa untuk mengelolanya? Saya kira tidak. Negara harus bisa dan kuasa untuk mengelola tersebut. Namun jangan dihabiskan sekarang, seolah-olah besok pagi mau kiamat, sehingga anak-cucu tidak difikirkan, bahkan ada niat tidak diberi bagian.
Nafsu serakah untuk berkuasa dan bergelimang harta, itu hilir dari carut-marut pertambangan di Indonesia. Karena dengan privatisasi, swastanisasi, dan semacamnya, cara tikus berjalan untuk sampai sarangnya, banyak tikungan dan peristirahatan yang harus dilalui, dan di sana “ICE” dijual untuk diminum. Yang bisa beli, akan dapat “ICE”.
