#Refleksi Surat Asy-Syu‘arā’ Ayat 78–83
Saudaraku, di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan penuh pencapaian, manusia sering terjebak pada ilusi kemandirian. Kita merasa bahwa hidup ditentukan oleh kecerdasan, jabatan, koneksi, dan teknologi. Tanpa disadari, semua itu dapat melahirkan kesombongan halus yang menjauhkan manusia dari hakikat kehambaannya.
Al-Qur’an, dengan bahasa yang lembut namun tegas, mengajak kita kembali kepada kesadaran paling mendasar: siapakah sebenarnya yang mengatur hidup ini? Jawabannya tergambar dengan sangat jernih dalam doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salām yang diabadikan Allah dalam Surat Asy-Syu‘arā’ ayat 78–83.
Doa ini bukan sekadar rangkaian kalimat spiritual, tetapi merupakan peta tauhid yang hidup, tauhid yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia: dari penciptaan, rezeki, kesehatan, kematian, hingga harapan di hari pembalasan.
Allah berfirman:
ٱلَّذِى خَلَقَنِى فَهُوَ يَهْدِينِ , وَٱلَّذِى هُوَ يُطْعِمُنِى وَيَسْقِينِ
“(Yaitu Allah) yang telah menciptakanku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku. Dan Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku.”
(QS. Asy-Syu‘arā’: 78–79)
Nabi Ibrahim memulai doanya dengan pengakuan fundamental: Allah-lah yang menciptakannya dan memberi petunjuk. Kesadaran sebagai makhluk yang diciptakan melahirkan satu konsekuensi besar, yaitu kebutuhan akan hidayah. Manusia boleh memiliki ilmu dan pengalaman, tetapi tanpa petunjuk Allah, ia mudah tersesat. Hidayah bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan primer bagi jiwa.
Ayat tentang rezeki meluruskan cara pandang manusia terhadap usaha. Islam mendorong kerja keras dan ikhtiar, namun tetap menempatkan hasil akhir di tangan Allah. Kesadaran ini melahirkan sikap syukur ketika lapang dan sabar ketika sempit. Orang yang bertauhid tidak mudah sombong saat berhasil dan tidak terpuruk saat gagal.
Selanjutnya Allah berfirman:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.”
(QS. Asy-Syu‘arā’: 80)
Ayat ini menampilkan adab tauhid yang sangat tinggi. Nabi Ibrahim tidak menisbatkan sakit kepada Allah, tetapi mengembalikan kesembuhan sepenuhnya kepada-Nya.
Dalam kehidupan modern, ayat ini mengajarkan bahwa obat dan dokter hanyalah sarana, sementara kesembuhan sejati tetap berada di bawah kehendak Allah. Berobat adalah ikhtiar, dan berdoa adalah ekspresi iman.
Allah melanjutkan firman-Nya:
وَٱلَّذِى يُمِيتُنِى ثُمَّ يُحْيِينِ
“Dan Dialah yang mematikan aku, kemudian menghidupkanku kembali.”
(QS. Asy-Syu‘arā’: 81)
Ayat ini menanamkan kesadaran bahwa kehidupan tidak berhenti di dunia. Kematian bukan akhir, melainkan pintu menuju kehidupan berikutnya. Kesadaran akan kebangkitan membentuk etika hidup yang lebih bertanggung jawab, jujur, dan penuh kehati-hatian.
Kemudian Nabi Ibrahim mengungkapkan harapannya:
وَٱلَّذِىٓ أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِى خَطِيٓـَٔتِى يَوْمَ ٱلدِّينِ
“Dan Dialah yang aku harapkan akan mengampuni kesalahanku pada hari pembalasan.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 82)
Meskipun seorang nabi, Nabi Ibrahim tetap berharap ampunan Allah. Ini menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa dan mengajarkan bahwa iman yang sehat selalu berjalan di antara rasa takut dan harap, antara kesadaran akan hisab dan keyakinan pada rahmat Allah.
Doa ini kemudian ditutup dengan permohonan agung:
رَبِّ هَبْ لِى حُكْمًۭا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّـٰلِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.”
(QS. Asy-Syu‘arā’: 83)
Nabi Ibrahim tidak meminta kekuasaan atau kemewahan dunia, tetapi hikmah dan lingkungan orang-orang saleh. Ini menegaskan bahwa kesalehan bukan hanya urusan individu, melainkan juga komunitas.
Saudaraku, Ini lebih dari sekadar bacaan, doa Nabi Ibrahim ini seharusnya menjadi wirid kesadaran hidup untuk dibaca, direnungi, dan dihidupkan, agar iman tidak berhenti di lisan, tetapi menjelma menjadi cara pandang, akhlak, dan keteguhan menghadapi dinamika zaman yang semakin kompleks. (*)
Wirid Kehidupan: Belajar Tauhid Kehidupan dari Doa Nabi Ibrahim
www.majelistabligh.id -
