Hidup Itu Ibarat Berkendara
foto: sodorandman

*Oleh: Ainul Yakin,
Alumnus IMM FAI UM Surabaya

Seringkali ketika melihat sebuah jalan perkotaan di medsos tampak indah nan mulus, tapi saat melintasinya ternyata banyak jalan berlubang dan bergelombang.

Di saat yang lain, jalan lain kelihatan biasa tapi ketika dilewati bikin nyaman dan bawaannya mau tidur di atas kendaraan, saking nyamannya. Begitulah, mempesona di mata belum tentu hati menerima.

Dalam hidup tidak lepas dari ujian dan rintangan yang mesti dihadapi. Jalan yang rusak dengan berbagai gangguan yang ada; jalan berlubang, kerikil dan pasir bertaburan, sampah-sampah, sampai pejalan kaki yang asal menyeberang yang mengganggu aktivitas perjalanan harus dilalui agar bisa sampai ke tujuan.

Ada yang berhasil melewati semua rintangan itu, ada juga yang jatuh dan kecelakaan. Hal itu tentu menguji keahlian dan kelincahan dalam berkendara.

Guyonan saya, “Kalo udah lulus tes drive saat buat SIM, akan mudah menaklukkan lika-liku perjalanan.” Meski hasil tes drive itu sebenarnya bukan indikator orang bisa mengemudi dengan baik dan benar.

Demikian pula dengan hidup. Semakin berat ujian yang menimpa, bisa semakin kuat dan teguh dalam menjalani hidup.

Tetapi bisa pula tidak sabar dan putus asa dalam menghadapi warna-warni kehidupan yang dihantui ketidaknyamanan, yang berujung jadi pemalas dan tidak berkembang. Akhirnya gitu-gitu aja hidupnya.

Islam tidak mengajarkan konsep itu. Dalam kondisi terpuruk dan terburuk pun harus tetap berusaha, berdoa, dan bangkit agar lebih baik lagi ke depannya.

Semampunya, sedikit demi sedikit. Karena untuk memulai dan bangkit lagi itu berat kalau dilakukan sekaligus.

Berjuang dan usaha walau sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali, apalagi usaha tersebut dilakukan secara kontinu. Karena amal yang sedikit asal istiqamah itu lebih baik daripada banyak tapi hanya sekali tempo (tidak berkelanjutan).

Kasus lain, terkadang, menahan panasnya terik matahari saat menunggu lampu merah beralih ke hijau di Bangjo saja sudah tidak kuat. Bagaimana dengan menahan panasnya api neraka yang jauh berkali-kali lipat lebih ganas dan menyengsarakan dari itu?

Pun demikian ketika sedang terburu-buru menuju suatu tempat karena ada acara, tapi di perjalanan kendaraan sangat padat dan terlihat sempit karena macet total.

Mau maju, mundur, nganan, ngiri tidak bisa. Bahkan ada pula yang meninggal karena tidak kuat menahan penderitaan akibat macet total dan lama.

Lalu bagaimana dgn kondisi kubur nanti, jika kubur terasa sangat sempit yang tak kunjung lapang, kuatkah menahan sakitnya himpitan atau siksaan yg berlarut-larut di alam sana? Wal ‘iyadzu billah.

Ibrahnya, ingat akhirat bisa membuat seseorang beramal sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Karena balasan akhirat itu mengantarkan pada kebahagiaan sejati-bila beruntung-dan kesengsaraan yang abadi- bila apes. Semua Bergantung pada amal di dunia.

Keindahan dunia hanya sementara, sedang kenikmatan akhirat itu selamanya. Pahitnya hidup hanya sesaat, tak sebanding dengan pahitnya siksa neraka kelak di akhirat. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini