***
Ada beragam strategi untuk mengejar ketertinggalan. Tiga puluh lima puluh tahun silam, betapa susahnya mencari sarjana lulusan master, doktor apalagi sekelas guru besar di kalangan umat Islam tradisionalis.
Sebab itu, jabatan-jabatan yang membutuhkan syarat akademik tinggi selalu di isi dari umat Islam modernis.
NU puasa cukup lama, hingga Gus Dur terpilih menjadi Presiden dan membikin lompatan jauh: program 1000 doktor, program percepatan ini sungguh dahsyat dan sekarang kita bisa melihat hasilnya: ratusan doktor dan guru besar lahir dari kelompok umat Islam yang sering dilabeli kuno, tradisional, jumud dan kolot.
Kader politik NU tidak harus berasal dari BANOM yang mereka punya, dengan sistem berjenjang tapi kaku dan lamban.
Progresif menjadi ukuran. Komitmen pada ideologi yang berikutnya. Dan Gus Dur bisa membaca situasi zaman dengan cermat.
***
Di awal berdiri, kader-kader Muhammadiyah adalah hasil dari naturalisasi. Saat Kyai Dahlan mengenalkan ide ide kebangunan Islam masih belum ada Majelis
Kade, belum ada Pemuda, belum ada IMM atau IPM atau NA dan semua turunannya.
Kyai Dahlan begitu terbuka, dinamis dan progresif meski sering banyak bikin kaget umat Islam yang lain, inovasi Kyai Dahlan begitu pekat terasa, yang oleh Gus Dur disebut kemenangan dialektik,
Kyai Mas Mansur adalah jebolan Taswirul Afkar bersama Kyai Wahab Hasbullah kelompok yang bergerak di bidang pemikiran Islam yang dinamis, ayahnya adalah imam dan khatib Masjid Sunan Ngampel dan lahir dari bangsawan ningrat Astatinggi di Sumenep Madura.
Mas Mansur dan Mbah Wahab mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al Wathan di Gresik, dan Hidayah al Wathan di Jombang.
Setiap mendirikan kegiatan baru, mereka memberi nama belakangnya “wathan” yang berarti tanah air. Dari sana dapat diketahui bahwa betapa besar kecintaan mereka pada Tanah Air.