*)Oleh:Hamdan Maghribi
Dosen Akhlak dan Tasawuf UIN Surakarta
Ibn Taimiyyah adalah nama besar dalam sejarah pemikiran Islam. Ia menjadi sosok yang begitu berpengaruh baik dalam arus tradisionalisme maupun reformisme Islam. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang memandangnya sebagai tokoh yang ekstrem dan kontroversial.
Nurcholish Madjid (w.2005), cendekiawan muslim kenamaan di Indonesia, menempatkan Ibn Taimiyyah dalam bingkai yang lebih kompleks dan bernuansa, terutama dalam kaitannya dengan ide keterbukaan, moderasi, dan toleransi dalam Islam. Esai ini akan menelusuri bagaimana Cak Nur membedah gagasan Ibn Taimiyyah dan relevansinya bagi semangat keindonesiaan dan kebangsaan yang plural.
Ibn Taimiyyah: Mujaddid yang Kontroversial
Dilahirkan tahun 1263 M di Ḥarrān, tidak lama setelah tragedi Mongol menginvasi dan memporak porandakan Baghdad, Ibn Taimiyyah tumbuh di tengah keruntuhan peradaban klasik Islam. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang tajam, pemberani, dan reformis.(Laoust, n.d.). Cak Nur menyebutnya sebagai sosok yang “radikal dalam ekspresi, namun moderat dalam substansi.”(Madjid, 1986) Ia bukan sekadar ulama Ḥanbalī yang vokal, tetapi seorang pemikir yang memberi ilham pada berbagai gerakan reformasi Islam di dunia, termasuk di Indonesia melalui tokoh seperti Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan Ahmad Surkati (Al-Irsyad).(Sudar, 2014)
Namun, warisan pemikiran Ibn Taimiyyah tidak diterima secara utuh. Banyak yang memujinya, tetapi banyak pula yang menolaknya. Ia dikritik habis-habisan oleh kelompok tradisionalis dan Syiah, dituduh sebagai antropomorfis, pelaku bid‘ah, penyebar paham Islam radikal, bahkan kafir.(Michot, 2020) Meski demikian, bagi Cak Nur, semua itu tidak mengurangi nilai-nilai keterbukaan intelektual yang terkandung dalam pikirannya.
Salafi yang Rasional: Kembali ke Sumber Asli
Salah satu pilar utama pemikiran Ibn Taimiyyah adalah Salafisme; ajaran kembali kepada generasi awal umat Islam (salaf al-ṣāliḥ). Salaf, menurutnya, terbatas pada generasi sahabat, tābi‘īn, dan tābi‘ al-tābi‘īn. Ibn Taimiyyah meyakini bahwa generasi inilah yang ‘dijamin’ oleh Al-Qur’an sebagai umat yang diridhai Allah. Maka, keabsahan suatu ajaran Islam harus diuji berdasarkan kesesuaian dengan pemahaman mereka.(Al-Najjār, 2016)
Namun, Cak Nur menekankan bahwa bagi Ibn Taimiyyah, Salafiyyah bukanlah antiintelektualisme atau penolakan terhadap pemikiran baru. Justru, Salafiyyah adalah cara untuk menjaga agar ijtihād terus terbuka. Ia percaya bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, dan bahwa setiap Muslim berhak memahami agamanya sendiri berdasarkan kemampuan ilmu dan akalnya. Dengan kata lain, Ibn Taimiyyah menolak taqlid buta; yaitu mengikuti otoritas keagamaan tanpa sikap kritis.(Madjid, 1986, 2020)
Pandangan ini sangat progresif jika dilihat dari konteks abad pertengahan. Ia menyiratkan bahwa pemahaman agama adalah milik semua orang, bukan hanya segelintir elite ulama. Inilah awal dari semangat egalitarianisme Islam, yaitu bahwa dalam beragama, tidak ada kasta, tidak ada hak istimewa, tidak ada pemimpin yang ma‘ṣūm.
Kritik terhadap Kekuasaan dan Ide Moderasi
Dalam bidang politik, Ibn Taimiyyah dikenal sebagai sosok yang mendukung stabilitas. Ia menentang pemberontakan terhadap penguasa zalim, karena menurutnya pemberontakan hanya akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang lebih besar. Namun, ia bukanlah pendukung tirani. Kritik kepada penguasa tetap diperlukan sebagai bagian dari prinsip “naṣīḥah”; agama adalah nasihat.
Cak Nur membaca pandangan ini sebagai upaya untuk membangun sistem sosial-politik yang terbuka. Sistem yang menolak absolutisme dan mendorong keterlibatan masyarakat luas melalui prinsip syūrā (musyawarah) dan ikhtiyār (pemilihan). Prinsip ini sangat cocok dengan gagasan demokrasi dan keterbukaan yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa di Indonesia.(Rachman, 2006)
Ibn Taimiyyah juga membela prinsip bahwa seorang pemimpin tidak harus dari kalangan tertentu (misalnya Ahl al-Bait seperti yang diyakini Syī‘ah), tetapi cukup memiliki kemampuan dan ilmu. Artinya, siapa pun yang memenuhi syarat boleh menjadi pemimpin, termasuk di negara modern seperti Indonesia yang pluralistik dan demokratis.(Jindan, 1979; Khan, 2020)
Tauhid dan Kemandirian Beragama
Gagasan tauhid (keesaan Tuhan) dalam pemikiran Ibn Taimiyyah bukan hanya berarti mengesakan Tuhan dalam ibadah, tetapi juga dalam otoritas. Tidak boleh ada manusia yang dimutlakkan, dipuja, atau dianggap suci selain Tuhan. Dalam pengertian ini, setiap bentuk stratifikasi sosial yang menjadikan manusia sebagai sumber otoritatif mutlak adalah bentuk ‘syirik sosial’.(Hoover, 2020; Ibn Taimiyyah, 2011)
Di sinilah letak signifikansi gagasan Ibn Taimiyyah dalam membela hak setiap individu untuk melakukan ijtihād. Setiap orang yang mampu, wajib menggunakan akalnya untuk memahami agama, bukan mengikuti tokoh agama secara membabi buta. Bahkan, Ibn Taimiyyah mendorong kritik terhadap hadis yang meragukan atau tidak rasional. Pengetahuan agama harus diuji secara objektif dan ilmiah, bukan berdasarkan otoritas keturunan atau status sosial.(Al-Matroudi, 2023)
Cak Nur menyebut semangat ini sebagai “kebangkitan intelektual Islam,” yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam modern untuk membangun masyarakat yang sadar, terbuka, dan kritis.(Madjid, 1986)
Ijtihād dan Maṣlaḥah
Salah satu warisan besar Ibn Taimiyyah adalah reinterpretasi terhadap konsep maṣlaḥah (kepentingan umum). Bagi Ibn Taimiyyah, hukum agama harus berpihak pada kemaslahatan umat. Jika suatu hal tidak secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an atau Sunnah, maka prinsip maslahat dapat menjadi dasar legitimasi.(Opwis, 2010)
Ijtihād, dalam pengertian ini, bukan hanya menelaah teks, tetapi juga memahami konteks sosial. Oleh karena itu, hukum Islam harus bisa menjawab kebutuhan zaman dan memecahkan masalah nyata dalam masyarakat. Misalnya, hukum tentang teknologi, keuangan modern, atau pemerintahan demokratis, tidak bisa hanya diputuskan dengan pendekatan literalistik terhadap teks, tetapi harus melalui penalaran analogis (qiyās) dan penilaian maslahat.
Bagi Cak Nur, ini adalah bentuk keterbukaan luar biasa dari seorang tokoh abad pertengahan. Ibn Taimiyyah membuka jalan bagi etika sosial Islam yang dinamis, progresif, dan kontekstual.(Madjid, 1986)
Menimbang Umat: Antara Kritis dan Toleran
Salah satu pernyataan Ibn Taimiyyah yang sangat penting dan dikutip oleh Cak Nur adalah bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang, betapapun tinggi ilmunya, pasti memiliki sisi benar dan salah. Maka sikap yang tepat terhadap sesama bukanlah pengkultusan atau pengutukan, melainkan penghormatan yang proporsional.
Inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai jalan tengah atau moderasi (iʿtidāl). Dalam konteks ini, Ibn Taimiyyah sangat toleran. Ia menyerukan agar umat Islam bersikap adil terhadap perbedaan. Tidak semua yang berbeda itu sesat, dan tidak semua yang berbeda dari kita harus dimusuhi. Justru perbedaan adalah keniscayaan manusiawi, dan tugas kita adalah saling mengingatkan dalam kebaikan.(Madjid, 1986)
Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang plural dan majemuk. Islam Indonesia sangat membutuhkan semangat toleransi dan proporsionalitas ini, bukan fanatisme atau penghakiman sembarangan.
Islam, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan
Meskipun Ibn Taimiyyah hidup dalam konteks abad pertengahan, banyak gagasannya yang sesuai dengan semangat zaman modern; seperti demokrasi, egalitarianisme, dan kebebasan berpikir. Menurut Cak Nur, Ibn Taimiyyah muncul sebagai tokoh yang lebih inklusif dan terbuka dari yang dibayangkan banyak orang.
Relevansi pemikiran Ibn Taimiyyah bagi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta musyawarah dan keadilan sosial, semua itu sejalan dengan nilai-nilai ijtihād, syūrā, egalitarianisme, dan maqāṣid al-syarī‘ah yang diperjuangkan oleh Ibn Taimiyyah.(Madjid, 1986)
Pemikiran Ibn Taimiyyah yang dibaca secara kritis oleh Cak Nur justru memberi energi baru bagi Islam Indonesia. Islam yang tegas sekaligus inklusif, intelektual, dan partisipatif. Islam yang tidak menjadikan ulama sebagai sumber otoritas mutlak, tetapi sebagai mitra diskusi. Islam yang tidak menyerahkan kebenaran kepada satu orang, tetapi mengembalikannya kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan akal sehat.
Ibn Taimiyyah adalah contoh bagaimana seorang ulama bisa bersikap keras terhadap bid‘ah, namun tetap terbuka terhadap keragaman pemikiran. Ia keras dan tegas dalam membela tauhid, tetapi juga bijak dalam memahami sisi manusiawi. Ia menolak taqlīd, tetapi tetap realistis terhadap keterbatasan umat. Ia mendukung kekuasaan, tetapi tetap kritis terhadap kezaliman.
Cak Nur mengajak kita untuk melihat Ibn Taimiyyah bukan sebagai simbol ekstremisme, melainkan sebagai pemikir yang mendalam dan berani. Tokoh yang telah membuka jalan bagi lahirnya pemikiran Islam yang progresif dan rasional. Dan itulah warisan yang perlu dihidupkan kembali hari ini, di tengah tantangan zaman yang terus berubah dan memerlukan Islam yang lebih terbuka, wasaṭ, toleran, dan humanis. (*)
