UM Surabaya

Kedua: kalimat tersebut mengandung pengertian ; perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan sesuai dengan makna lafazh tersebut secara zhahir-nya. Jadi artinya: apabila apa yang ingin engkau lakukan termasuk perbuatan yang tidak perlu merasa malu untuk melakukannya baik dari Allah maupun manusia karena ia merupakan perbuatan ketaatan/kebajikan atau akhlak yang baik dan etika yang dianggap baik; maka ketika itu perbuatlah apa yang ingin engkau lakukan.

Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, di antaranya Abu Ishaq al-Marwazi asy-Syafi’i, dihikayatkan pendapat sepertinya dari Imam Ahmad, terdapat juga dalam sebagian manuskript ringkasan kitab “masaail Abi Daud”, begitu juga seperti yang dihikayatkan oleh al-Khallal dalam kitabnya “al-Adab”.

Di antaranya perkataan sebagian Salaf ketika mereka ditanyai tentang definisi al-Muruuah : “bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang engkau malu melakukannya secara terang-terangan (sama malunya) di waktu engkau dalam kesendirian”. Ungkapan ini sama dengan makna hadis “dosa adalah apa yang terbetik dalam hatimu sedangkan engkau takut orang lain mengetahuinya” (penjelasan tentang hadis ini telah kami tampilkan pada pembahasan yang lalu).

Ada beberapa hadits yang senada dengan makna penjelasan diatas yang dipaparkan oleh Mushannif, diantaranya hadits dari Usamah bin Syuraik yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya “Shahih Ibni Hibban”: dari Usamah bin Syuraik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “sesuatu yang Allah benci darimu (untuk dilakukan), maka janganlah engkau lakukan juga bila engkau sedang sendirian”.

Klasifikasi Sifat Malu, Kedudukan dan Keutamaannya

Sifat malu ada dua macam:

Pertama, sifat malu bawaan yang tidak didapat melalui proses ; ini merupakan akhlak yang paling mulia yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya, oleh karena itulah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikatakan: “sifat malu tidak membawa selain kebaikan” sebab ia akan mencegah orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan yang buruk-buruk dan hina serta mendorongnya untuk menggunakan akhlak yang mulia.

Sifat ini merupakan bagian dari iman bila implikasinya terhadap pemiliknya demikian. Al-Jarrah bin ‘Abdullah al-Hikami, salah seorang pahlawan penunggang kuda dari Ahli Syam, berkata: “aku tinggalkan dosa-dosa karena malu, selama empat puluh tahun; ternyata aku dapati kemudian sifat wara’ “.

Kedua, sifat malu yang didapat melalui proses ma’rifatullah (mengenal Allah), keagunganNya, kedekatan-Nya dengan hamba-hamba-Nya, pengawasan-Nya terhadap perbuatan mereka serta ilmu-Nya terhadap apa saja yang tersembunyi di hati manusia. Ini merupakan bagian keimanan yang paling tinggi bahkan merupakan tingkatan ihsan paling tinggi.

Seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki: “Berlaku malu lah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang keluargamu yang paling shalih”.

Keutamaannya

Di antara keutamaan sifat malu adalah:

Sifat malu adalah sifat yang dicintai oleh Allah; sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dari hadits al-Asyajj al-‘Ashri, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Sesungguhnya engkau memiliki dua sifat yang dicintai oleh Allah”.

Aku bertanya kepada beliau: ‘apa itu?’. Beliau bersabda :”sifat lemah lembut (al-Hilm) dan sifat malu”. Aku bertanya lagi: ‘sifat yang sudah lama (melekat padaku) atau yang baru?’. Beliau menjawab dengan sabdanya: “bahkan yang sudah lama”. Aku berkata (pada diriku): ‘alhamdulillah Yang telah menganugerahkan kepadaku dua sifat yang dicintai oleh Allah’.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini