Begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh seorang sahabat, Salman al-Farisi:
“Sesungguhnya bila Allah menginginkan kehancuran/kebinasaan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan mencabut dari dirinya sifat malu, dan bila sudah dicabut sifat tersebut dari dirinya maka dia tidak akan menemui-Nya kecuali dalam kondisi dia amat dimurkai dan murka, dan bila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut dari dirinya sifat amanah lantas dia tidak akan menemui-Nya kecuali dalam kondisi dia dicap sebagai pengkhianat dan orang yang dikhianati, dan bila dia sudah menjadi pengkhianat dan orang yang dikhianati maka akan dicabut dari dirinya sifat rahmah (sifat belas kasih) lantas dia tidak akan menemui-Nya kecuali dalam kondisi dia memiliki sikap keras dan berhati kasar, dan apabila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut sebagian iman dari tengkuknya, dan bila sudah demikian maka dia tidak akan menemui-Nya kecuali dalam kondisinya yang telah menjadi setan yang dilaknat dan suka melaknat.”
Sifat malu merupakan bagian dari iman; sebagaimana dalam hadis yang sahih dari Ibnu ‘Umar radhiallâhu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di depan seorang laki-laki yang mencerca saudaranya yang memiliki sifat malu, dia (orang tersebut) berkata: “Sesungguhnya engkau ini amat pemalu”, seakan dia mengatakan (ungkapan ini berasal dari perawi hadis, red);”..ia (sifat malu tersebut) telah membahayakan dirimu”.
Lantas kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah dia! Karena sesungguhnya sifat malu itu adalah sebagian dari iman”. (HR. Bukhari, Muslim).
Dan dalam hadis yang lain dikatakan: “Sifat malu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari, Muslim)
Sifat malu hanya membawa kebaikan; sebagaimana dalam hadis ‘Imran bin Hushain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sifat malu tidak membawa selain kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karakteristik Sifat Malu dan Implikasinya
Karakteristiknya
Hal ini seperti digambarkan dalam hadis Ibnu Mas’ud: “Malu kepada Allah adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang disadari/ditangkapnya, (menjaga) perut dan apa yang dikandungnya, mengingat mati dan musibah (yang akan menimpa); barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dia meninggalkan gemerlap dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah berlaku malu kepada Allah”. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi secara marfu’).
Implikasinya
Sifat malu kepada Allah melahirkan tindakan untuk selalu memonitor semua nikmat-Nya dan melihat keterbatasan dan ketimpangan-ketimpangan dalam mensyukurinya. Bila seorang hamba telah dicabut sifat malu dari dirinya baik sifat malu bawaan atau pun yang didapat melalui proses maka dia tidak lagi memiliki filter untuk melakukan perbuatan yang jelek-jelek dan akhlak yang rendah dan hina; lantas kemudian jadilah dia seakan-akan tidak memiliki iman sama sekali.
Seperti yang diungkapkan oleh ‘Imran bin Hushain radhiallâhu ‘anhu bahwa sifat malu yang dipuji dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah akhlak yang memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek.
Sedangkan kelemahan dan ketidakmampuan yang berimbas kepada keterbatasan dalam melakukan hak-hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya maka hal ini tidaklah dinamakan sifat malu tersebut akan tetapi hal itu adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan semata.