“al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, Di Mana Posisi Muhammadiyah?

“al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, Di Mana Posisi Muhammadiyah?
www.majelistabligh.id -

*) Oleh: Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP Kertosono, penulis buku: Konsep Teologi Ibn Taimiyah)

Wacana “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” dalam dunia pemikiran Islam khususnya fiqih dan Ushul Fiqih, sebenarnya sudah lama, bukan hal baru. Namun gaungnya tetap hidup, karena yang mendukung maupun yang menolak, sama-sama mendiskursuskan tema tersebut.

Pihak yang mendukung, merasa mendapatkan angin segar untuk melakukan terobosan baru dalam melahirkan pemikiran baru, baik masalah hukum maupun dalam bidang lainnya. Sedang bagi yang menolak, karena mengganggu kemapanan selama ini telah “dinikmati”. Di bawah terlihat, argumen pendukung dan penolak slogan di atas.

Di antara keberatan para penolaknya adalah adanya proses delegimitasi ulama yang selama ini perannya sangat penting di masyarakat. Dalam NU Online misalnya menyatakan, “Sebagian kalangan justru menyelewengkan slogan “Kembali kepada Al-Qur’an [dan Sunnah]” untuk mengeroposkan legitimasi umat terhadap para ulama.”[1] Kalau Kembali kepada Al-Qur’an, secara sederhana dapat dimaknai sebagai kembali kepada “hukum Tuhan”. Dan umat manakah yang tidak ingin berpegang pada Kitab Sucinya, kepada hukum Tuhannya?

Gus Mus (Mustofa Bisri) pernah mengatakan, “Kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, jangan dengarin kyai’.” Selanjutnya Gus Mus menyatakan, “Memang ulama’ gak baca al-Qur’an dan Hadits. Lah nek seng dimaksud al-Qur’an dan Hadits, cuma al-Qur’an terjemahan Depag RI, …  gitu kok sudah berani pidato, kempo, … kalau gak ngaji no sense, non sense, kalau Cuma ngaji Geogle, non sense …”

Kyai Mustofa Bisri pernah bilang, “Kyai itu sendiri adalah dalil, kalau kyai masih dalil, belum kyai. Kalau kyai belum bisa dijadikan dalil, belum kyai. Kalau sekedar dalil, sekedar pinter ceramah, tukang jamu di pasar, pinter dalil dan pinter pidato, tapi tidak bisa dijadikan dalil, karena bisa ngomong, tapi durung iso dipercoyo. Nek kyai, meskipun tidak mengucapkan dalil, orang percaya bahwa sang kyai sudah baca dan hafal di luar kepala dalil yang dibaca. Jadi, kyai itu dalil itu sendiri.”

Jadi, di kalangan masyarakat kebanyakan, kyai non-modernis jarang menyebutkan dalil, tidak berarti tidak memiliki dalil. Tidak setiap yang diucapkan, harus disertai dalil saat itu, karena dalil sudah dibaca dan dihafal. Namun oleh kalangan kaum non tradisionalis, jadi sasaran kritik, bahwa kyai mereka, gak punya dalil. Kenyataan ini, harus difahami pergumulan keberagamaan kalangan awam, yang memang logika yang dipakai adalah logika jalanan, terminalan, sopir, petani, dan lainnya, yang suka demagogi, bukan argumentasi saintifik.

Ada perbedaan sosiologis dalam menyikap suatu persoalan keagamaan (mahdlah dna ghairu mahdlah). Di kalangan modernis, yang penting dalilnya kuat dan epistemologinya jelas, mereka sami’na wa atha’na. Sebaliknya dari kalangan non-modernis, kalau belum kyainya yang memberi “ijazah”, tidak mau menerima, sebaik apa pun dalil yang disusun dan argumen yang dikemukakan, kalau belum dapat “pengabsahan” dari ulama’-nya, masih belum “maqbulah” (diterima).

Mengapa harus “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” memangnya pernah “pergi”? Dalam salah satu tulisan NUCilacap Online, dan pernah juga dikemukakan oleh Gus Baha’ dan Gus Mus, pernah dilontarkan candaan, “Kalau boleh kita bercanda, ngapain diajak kembali kalau selama ini kita enggak ke mana-mana?”[2]

Dari candaan ini, ada semacam perasaan dipojokkan bahwa kelompok penolak slogan di atas, dianggap pergi “ke mana-mana”, padahal selama ini tidak pergi ke mana-mana, ya tetap berpegang kepada al-Qur’an, hadis, pemikiran para imam madzhab, dan ulama’.

Para pendukung slogan di atas, juga tidak pernah menuduh para penolak pergi ke mana-mana. Hanya para pendukung slogan tersebut memandang bahwa ada faham, praktik keagamaan yang tidak “genuine” Islam dan bertentangan pokok-pokok prinsip keislaman, sehingga perlu “kembali” kepada al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang dikritik, karena ada sesuatu yang tidak murni Islam,  ada divergensi, asimilasi, bahkan menyimpang dari Islam.

Keberatan yang lain adalah, “Jika kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis itu kalau maksudnya adalah menghilangkan pola bermadzhab, maka ini berbahaya. Tetapi apabila maksudnya adalah bagaimana kita berusaha untuk tetap benar-benar berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits sesuai metodologi, tata cara, atau model yang telah diajarkan oleh para ulama, tentu yang kita lakukan selama ini juga seperti itu.

Selanjutnya dinyatakan, “Imam Bukhari dan Muslim mereka juga tak mengikuti Madzhab Syafii yang mereka dalam pembukuan Hadits itu sebatas membukukan. Tidak sampai kemudian membuat satu madzhab fikih tersendiri. Hanya kepatuhan yang mereka lakukan.[3]

 

Tinggalkan Balasan

Search