Fair Value Mengubah Wajah Rasio Keuangan

*) Oleh : Dr. Anwar Hariyono, SE, M. Si, CIAP
DPS Lazismu Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Investor pada umumnya mengandalkan laporan keuangan sebagai cermin kinerja perusahaan, namun International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam beberapa dekade terakhir justru telah mengorbankan transparansi laporan laba rugi demi penilaian nilai wajar di neraca.

Standar seperti IAS 40 menetapkan keuntungan nilai wajar (fair Value) untuk aset investasi yang di catat langsung dalam laba, padahal tidak ada transaksi penjualan nyata yang mendasari kenaikan tersebut.

Perubahan IFRS 16 memperkenalkan pengakuan hak guna dan liabilitas sewa pada neraca dengan memisahkan komponen bunga dan modal dalam laporan arus kas.

Padahal, setiap pembayaran sewa sesungguhnya adalah satu aliran kas tunggal. Akibatnya, struktur free cash flow menjadi terpecah, sehingga angka arus kas operasional dan investasi menjadi sulit dibandingkan antar periode.

Rasio traditional seperti price-to-earnings dan return on equity tampak lebih menarik ketika nilai aset bersih aset naik akibat penilaian fair value.

Investor membaca rasio rendah sebagai sinyal under-valution, padahal angka tersebut lebih mencerminkan penyesuaian jurnal daripada kekuatan opersional atau arus kas perusahaan. Distorsi ini menimbulkan gambaran kinerja yang ilusi.

Ketika aktor akuntan berbicara istilah fair value, dan investor fokus pada arus kas riil keduanya seolah-olah menggunakan kamus dengan istilah yang berbeda.

Selisih pandangan persepsi ini akan mengikis kepercayaan pasar, karena insvestor yang terjebak data bisa terdistorsi serta akan sulit memperkirakan risiko likuiditas atau solvabilitas.

Sudah saatnya pembuat standar IFRS segera mengambil langkah nyata: mendengarkan dan memahami dinamika pasar, serta menegaskan kembali prinsip-prinsip akuntansi yang menjamin relevansi dan transparansi informasi keuangan. (*)

Tinggalkan Balasan

Search