Gharaniq dan Novel Ayat-ayat Setan

Gharaniq dan Novel Ayat-ayat Setan
www.majelistabligh.id -

*)Oleh: Sigit Subiantoro
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri

Gharaniq adalah istilah yang merujuk pada kisah kontroversial dalam sejarah Islam yang melibatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan 3 dewa kaum Quraisy (Lata, Uzza, dan Manat). Kisah ini juga dikenal sebagai Kisah Ayat-ayat Setan atau Qissah al-Gharaniq. Inti dari kisah ini adalah dugaan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat membacakan Surah An-Najm, secara tidak sengaja memasukkan 2 kalimat yang bukan dari wahyu, melainkan bisikan setan, yang memuji berhala-berhala tersebut.

Kisah ini terjadi saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Surah An-Najm ayat 19-20

اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَا لْعُزّٰى ,
وَمَنٰوةَ الثَّا لِثَةَ الْاُ خْرٰى

Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza,
dan Manat, yang ketiga yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah)

Orang-orang Quraisy mengira Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji 3 berhala utama kaum Quraisy.

Dua kalimat yang diucapkan Nabi, diyakini mereka, bukan dari wahyu, adalah “Itulah gharaniq (burung bangau) yang terbang tinggi dan sesungguhnya syafaat mereka yang sangat diharapkan”. Pernyataan ini membuat kaum Quraisy gembira, karena merasa Tuhan mereka dipuji.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kisah ini. Sebagian ulama meyakini kisah ini benar dan menjadi bagian sejarah Islam, sementara yang lain menolaknya karena bertentangan dengan sifat Nabi yang maksum (terjaga dari dosa).

Kisah ini menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama dan menjadi inspirasi bagi novel “Ayat-ayat Setan”.

Secara bahasa, gharaniq berarti burung bangau, yang dalam konteks ini dikaitkan dengan berhala karena dipercaya oleh kaum musyrik bahwa doa mereka akan sampai kepada Tuhan melalui perantara berhala-berhala tersebut, seperti burung yang terbang tinggi. Kemudian setan menyelipkan kalimat gharaniq yang berbunyi,
“Itulah (berhala-berhala) gharaniq yang mulia dan syafaat mereka sungguh diharapkan “.

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan hingga akhir Surah An-Najm, beliau mengakhirinya dengan bersujud. Sontak semua kalangan (muslim dan kafir Quraisy) yang ada di tempat tersebut ikut sujud seperti yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini lantas jadi buah bibir kafir Quraisy, dengan berkata, “sesungguhnya Muhammad telah kembali kepada agamanya semula, yaitu agama kaumnya.

Hingga akhirnya Allah menurunkan QS Al-Hajj (52), untuk meluruskan kisah ini,

وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّاۤ اِذَا تَمَنّٰۤى اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْۤ اُمْنِيَّتِهٖ ۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu. dan Allah akan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,”
(QS Al-Hajj 52)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menurunkan Surah Al-Hajj ayat 53,54,55 untuk meluruskan kisah gharaniq tersebut.

Bukan Nabi yang salah, tetapi setanlah yang membisikkan kalimat gharaniq ke dalam pendengaran kaum musyrik, yang juga disalahartikan oleh Salman Rusydi.

Selain itu Salman Rusydi menjadikan kisah ini sebagai dasar untuknya membuat novel yang bertajuk “Ayat-ayat Setan”.

Berangkat dari kisah ini, masif para ulama yang menolak keberadaan kisah ini dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut adalah buatan kaum zindik dan merupakan hal batil dan merusak agama Islam.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, sekiranya diterangkan beberapa sanad yang dipakai para ulama untuk menyikapi kisah ini, di antaranya, pertama, menurut Ibn Abi Hatim dan at Thabari, hadis tersebut berasal dari Ibn Jubair namun dengan sanad yang berbeda, kedua, Ibn Hatim dan at Thabari juga meriwayatkan secara mursal dari masing-masing sanad, yaitu Abul Aliyah dari as Saddi (Ibn Abi Hatim) dan Muhammad bin Ka’ab al Qurazi serta Ibn Qais (at Thabari), ketiga, al Bazzar meriwayatkan dari jalur Ibn Abbas, keempat, al Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah, kelima, Ibn Ishaq, mengutarakan dalam Sirahnya bahwa turut menyebut kisah ini dengan konteks yang serupa, namun semuanya berstatus munqati/ mursal.

Menyikapi perbedaan pandangan dari banyak ulama tentang kisah ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya, kesimpulan yang ditarik oleh beliau adalah setan telah membisikkan kalimat gharaniq tersebut ke dalam pendengaran kaum musyrik, sehingga mereka menduga bahwa kalimat-kalimat tersebut bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tidaklah demikian, melainkan ini ulah setan.

Wallahu a’lam bishshawab. (*)

Tinggalkan Balasan

Search