*)Oleh: M Mahmud,
Ketua PRM Kandangsemangkon Paciran Lamongan
Keyakinan empiris dan transendental adalah dua pendekatan dalam memahami kebenaran dan realitas:
1. Keyakinan Empiris – Berdasarkan pengalaman langsung dan observasi. Dalam filsafat, ini sering dikaitkan dengan empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Tokoh seperti John Locke dan David Hume berpendapat bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui interaksi dengan dunia luar.
Keyakinan empiris adalah kepercayaan yang didasarkan pada pengalaman langsung dan bukti yang dapat diamati. Dalam konteks ilmiah, ini berarti bahwa suatu pengetahuan atau keyakinan harus diuji melalui observasi, eksperimen, atau data yang dapat diverifikasi.
Pendekatan empiris menekankan bahwa kebenaran tidak hanya berasal dari teori atau spekulasi, tetapi harus didukung oleh fakta nyata yang dapat diuji secara objektif. Konsep ini menjadi dasar dalam metode ilmiah modern, di mana hipotesis diuji melalui eksperimen dan pengamatan untuk memastikan validitasnya.
Keyakinan empiris sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh didasarkan pada bukti nyata dan dapat diuji secara objektif.
Berikut beberapa alasan utama mengapa pendekatan empiris menjadi landasan dalam metode ilmiah:
– Menghindari Spekulasi dan Bias – Dengan mengandalkan observasi dan eksperimen, ilmu pengetahuan dapat menghindari asumsi yang tidak berdasar dan bias subjektif.
– Memungkinkan Verifikasi dan Replikasi – Pengetahuan empiris dapat diuji ulang oleh peneliti lain, memastikan bahwa hasilnya konsisten dan dapat dipercaya.
– Mendorong Kemajuan Ilmiah – Dengan menguji hipotesis melalui data dan pengalaman, ilmu pengetahuan terus berkembang dan menghasilkan inovasi baru.
– Meningkatkan Keandalan Teori – Teori ilmiah yang didukung oleh bukti empiris lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan teori yang hanya berdasarkan pemikiran abstrak.
Keyakinan empiris memiliki dampak besar terhadap perkembangan teori-teori ilmiah karena memastikan bahwa teori yang dikembangkan didasarkan pada bukti nyata dan dapat diuji secara objektif.
Berikut beberapa pengaruh utama empirisme dalam ilmu pengetahuan:
– Mendorong Metode Ilmiah – Empirisme menjadi dasar bagi metode ilmiah modern, di mana hipotesis diuji melalui observasi dan eksperimen sebelum diterima sebagai teori yang valid.
– Memperkuat Validitas Teori – Teori ilmiah yang didukung oleh data empiris lebih dapat dipercaya dan diterima oleh komunitas ilmiah.
– Membantu Evolusi Ilmu Pengetahuan – Dengan pendekatan empiris, teori yang tidak sesuai dengan bukti dapat direvisi atau digantikan oleh teori yang lebih akurat.
– Mengurangi Ketergantungan pada Spekulasi – Ilmu pengetahuan berkembang berdasarkan fakta yang dapat diuji, bukan hanya berdasarkan pemikiran abstrak atau asumsi filosofis.
Al-Qur’an mengandung banyak ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal dan pengalaman dalam memahami kebenaran. Salah satu contoh ayat yang mencerminkan pendekatan empiris adalah QS. Al-Ghâsyiyah [88]:17-20,
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ
Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?
وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ
Bagaimana langit ditinggikan?
وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ
Bagaimana gunung-gunung ditegakkan?
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ
Bagaimana pula bumi dihamparkan?
yang mengajak manusia untuk memperhatikan ciptaan Allah, seperti unta, langit, gunung, dan bumi. Ayat ini menunjukkan bahwa pengamatan terhadap alam dapat menjadi sarana untuk memahami kebesaran Allah dan memperkuat keyakinan.
Selain itu, QS. Ath-Thâriq [86]:5-7
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ
Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan.
خُلِقَ مِنْ مَّاۤءٍ دَافِقٍۙ
Dia diciptakan dari air (mani) yang memancar,
يَّخْرُجُ مِنْۢ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَاۤىِٕبِۗ
Yang keluar dari antara tulang sulbi (punggung) dan tulang dada.
Selain itu, Al Qur’an juga menekankan pentingnya memperhatikan asal-usul manusia, yang diciptakan dari air yang memancar. Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk memahami realitas melalui observasi dan refleksi.
Pendekatan empiris dalam Al-Qur’an tidak hanya bertujuan untuk memperkuat keimanan, tetapi juga mendorong umat Islam untuk berpikir secara sistematis dan ilmiah dalam memahami dunia.
2. Keyakinan Transendental – Melampaui pengalaman inderawi dan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang mendasari pemahaman manusia. Immanuel Kant mengembangkan idealisme transendental, yang menyatakan bahwa akal manusia memiliki struktur bawaan yang membentuk cara kita memahami dunia, sehingga ada aspek realitas yang tidak dapat diakses secara langsung.
Selain dalam filsafat, konsep transendental juga muncul dalam pemikiran agama dan spiritualitas, di mana keyakinan terhadap sesuatu yang melampaui dunia fisik menjadi dasar bagi pengalaman mistis dan pemahaman tentang keberadaan yang lebih tinggi
Keyakinan transendental berhubungan erat dengan etika, terutama dalam filsafat Immanuel Kant. Kant mengembangkan etika deontologi, yang menekankan bahwa moralitas tidak bergantung pada konsekuensi tindakan, tetapi pada kewajiban dan prinsip rasional yang bersifat universal.
Dalam konteks transendental, Kant berargumen bahwa manusia memiliki akal budi murni yang memungkinkan mereka memahami prinsip moral tanpa harus bergantung pada pengalaman empiris. Prinsip ini disebut sebagai imperatif kategoris, yaitu aturan moral yang harus diikuti tanpa mempertimbangkan hasilnya. Misalnya, seseorang harus berkata jujur bukan karena takut hukuman, tetapi karena kejujuran adalah kewajiban moral yang berlaku secara universal.
Selain itu, keyakinan transendental juga berperan dalam membentuk konsep otonomi moral, di mana individu bertindak berdasarkan prinsip rasional yang berasal dari dalam dirinya, bukan karena tekanan eksternal. Dengan demikian, etika transendental membantu membangun sistem moral yang tidak bergantung pada pengalaman empiris, tetapi pada struktur rasional yang melekat dalam akal manusia.
Keyakinan transendental dalam Al-Qur’an berkaitan dengan konsep bahwa ada realitas yang melampaui pengalaman empiris manusia dan hanya dapat dipahami melalui keimanan serta refleksi spiritual.
Salah satu ayat yang sering dikaitkan dengan aspek transendental adalah QS. Al-Anfâl [8]:17,
فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلَاۤءً حَسَنًاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Maka, (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik.
308) Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
308) Peristiwa ini terkait Perang Badar sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dia bercerita bahwa ketika Perang Badar berkecamuk, Nabi Muhammad saw. berkata kepada Ali, “Ambilkan aku segenggam pasir!” Ali segera mengambil pasir tersebut dan menyerahkannya kepada beliau. Lalu, beliau melemparkan pasir itu ke muka para musuh sehingga tidak seorang pun yang matanya luput darinya. Oleh karena itu, hancurlah mereka.” (Riwayat aṭ-Ṭabrani).
Ayat itu menekankan bahwa kemenangan dalam peperangan bukan semata-mata hasil usaha manusia, tetapi juga karena kehendak Allah.
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan, ada aspek yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh logika atau pengalaman empiris, melainkan bergantung pada kekuatan yang lebih tinggi. Konsep ini juga terlihat dalam ayat-ayat yang membahas tentang takdir, ketergantungan manusia kepada Allah, dan pentingnya tawakal dalam menghadapi berbagai situasi.
Pendekatan transendental dalam Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia tidak hanya bergantung pada usaha dan observasi, tetapi juga harus menyadari adanya kekuatan ilahi yang mengatur segala sesuatu. (*)
