Menjadi hamba yang beruntung bukanlah perkara instan. Ia adalah hasil dari proses panjang bernama tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan dalam perjuangan batin.
Dalam proses ini, seseorang mesti berjuang menyingkirkan berbagai penyakit hati seperti iri, dengki, riya, ujub, dan takabbur. Sekaligus, ia juga harus menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia: ikhlas, sabar, syukur, dan tawakal.
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9)
Jiwa yang bersih tidak lagi resah oleh hiruk-pikuk dunia. Ia tidak gelisah dengan penilaian manusia, karena yang terpenting baginya hanyalah pandangan Allah. Ia sibuk memperbaiki diri, bukan sibuk membangun citra.
Teladan dari Mereka yang Telah “Selesai”
Para Nabi dan sahabat menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi jiwa-jiwa yang kokoh dan bersih:
Nabi Ibrahim as rela dibakar oleh kaumnya demi menjaga tauhid. Ia tidak menjilat, tidak mengemis simpati. Ia tetap tenang, bukan karena merasa sakti, tetapi karena yakin sepenuhnya kepada Allah.
Nabi Yusuf as, meski dibuang oleh saudara-saudaranya, difitnah, dan dipenjara, tetap menjaga kebeningan hatinya. Ia tidak menggantungkan kebahagiaan pada manusia.
Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, saat kehilangan anak yang sangat dicintainya, tetap sabar dan tenang. Bahkan menyampaikan kabar duka itu kepada suaminya dengan tutur kata penuh hikmah dan keimanan.
Mereka semua manusia seperti kita. Bedanya, mereka telah “selesai” dengan luka, “selesai” dengan syahwat, dan “selesai” dengan dunia, karena menggantungkan seluruh harap dan sandaran mereka hanya kepada Allah.
Ciri-Ciri Jiwa yang Bersih
- Tidak mudah reaktif terhadap pujian maupun hinaan.
- Tidak iri atas nikmat yang dimiliki orang lain.
- Fokus memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi sesama.
- Tenang saat menghadapi ujian.
- Tidak kehilangan arah ketika ditinggalkan manusia.
Orang seperti ini tetap bersinar dalam kesunyian, tetap kuat meski tak disorot, dan tetap berbuat meski tak diacungi jempol. Ia sadar, setiap amal akan kembali kepada dirinya, dan Allah adalah sebaik-baik Penilai.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Rabb kami adalah Allah,’ lalu mereka istikamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dan berkata, ‘Jangan takut dan jangan bersedih…'” (QS. Fushshilat: 30)
Selesai dengan Diri, Siap Menjadi Cahaya
Orang yang telah “selesai” dengan dirinya, akan siap menebar manfaat. Ia tidak lagi sibuk mencari validasi, tetapi sibuk menyembuhkan luka orang lain dan menuntun mereka kepada Rabb-nya. Ia hadir bukan untuk dipuji, tapi untuk memberi arti.
Wahai jiwa yang lelah oleh penilaian manusia, tenanglah.
Cukuplah Allah Azza Wa Jalla yang tahu bahwa engkau sedang berjuang.
Cukuplah Allah yang menyaksikan bahwa engkau sedang tumbuh.
Dan cukuplah Allah… sebagai tempat bergantung. (*)
