*)Oleh: Hamdan Maghribi
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Kaprodi S2 Studi Islam Pascasarjana UIN Surakarta
Dalam lanskap spiritual Islam, nama Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292–1350 M) sering kali muncul berdampingan dengan sosok gurunya yang kontroversial, Ibn Taimiyyah.(Al-‘Imrān, 2021; Holtzman, 2018) Namun, satu karyanya yang monumental dan sering terlewat dalam kajian populer adalah Madārij al-Sālikin, sebuah tafsir mendalam dan kritis terhadap teks klasik tasawuf Manāzil al-Sā’irīn karya al-Harawī al-Anṣārī.(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, 2019)
Melalui karya ini, Ibn al-Qayyim menapaki jalan sufi, tetapi dengan hati-hati menjauhi praktik mistik yang mencabut praktik agama dari akar hukum yang berlandas pada wahyu. Di sinilah kemudian muncul pertanyaan menarik: mungkinkah ada tasawuf tanpa praktik mistik?
Dalam esai ini, kita akan membahas bagaimana Ibn al-Qayyim, melalui Madārij al-Sālikīn, membangun sebuah model spiritualitas Islam yang bersih dan jernih dari unsur-unur mistik yang spekulatif, tetapi tetap mendalam dalam cinta, kerendahan hati, dan kepatuhan utuh pada Tuhan. Tulisan ini didasarkan pada artikel Ovamir Anjum berjudul Sufism Without Mysticism? Ibn Qayyim al-Jawziyyah’s Objectives in Madarij al-Salikin(Al-Jauziyyah, 2020; Anjum, 2010).
Al-Harawī dan Tasawuf Eksploratif
Karya yang menjadi objek utama komentar Ibn al-Qayyim adalah Manāzil al-Sā’irīn karya al-Harawī al-Anṣārī (w. 1089).(Al-Harawī, 1988) Dalam karyanya, al-Harawī membagi perjalanan spiritual menjadi 100 maqām atau stasiun spiritual, masing-masing dengan tiga tingkatan: untuk ‘awwām, khawwāṣ (elit), dan khawwāṣ al-khawwāṣ (elitnya para elit). Gaya al-Harawī adalah tasawuf yang intens, puitik, dan terkadang ambigu. Ia tidak segan memakai ungkapan-ungkapan yang sulit dibedakan dari doktrin ekstrem seperti waḥdah al-wujūd (pemersatuan mutlak antara makhluk dan Tuhan). Baginya, maqām tertinggi adalah fanā, peleburan diri sepenuhnya dalam Tuhan, hingga kesadaran individual pun sirna.
Namun, meski mendukung pengalaman ruhani, al-Harawī juga seorang penganut madzhab Ḥanbalī konservatif. Ia menolak ilmu kalam Asy‘arī, memegang prinsip literal terhadap sifat-sifat Tuhan, dan sangat kritis terhadap filsafat. Di sinilah letak kompleksitas pemikirannya; memadukan kecenderungan eksoterik dan esoterik yang sering kali saling menegasi.
Ibn al-Qayyim: Salafi yang Menapaki Jalan Sufi
Ibn al-Qayyim, murid setia Ibn Taimiyyah, dikenal sebagai tokoh salafi dalam mazhab Ḥanbalī yang kritis terhadap praktik bid‘ah dan teologi spekulatif. Namun, dalam Madārij al-Sālikīn, kita melihat sisi lain dari sang faqīh; seorang pencari Tuhan yang mendalam, sufi. Ia menulis tafsir atas Manāzil al-Sā’irīn, tetapi bukan sekadar menjelaskan. Ia mengkritisi, menata ulang, dan mengisi celah-celah teologis yang dianggapnya berbahaya.(Maghribi, 2024)
Dengan bahasa yang indah dan penuh empati, Ibn al-Qayyim menyelamatkan warisan tasawuf dari praktik mistik yang destruktif. Ia menghormati al-Harawī sebagai “syaikh al-Islām,” namun tidak ragu untuk mengklarifikasi bahkan mengoreksi klaim-klaim spiritual yang tidak bersandar pada wahyu. Ia bahkan menutup banyak kutipan al-Harawī dengan klarifikasi dan reinterpretasi yang menunjukkan semangat korektif tanpa merendahkan.(Anjum, 2010)
Membedakan Tasawuf dan Mistik
Anjum secara tajam membedakan dua hal yang sering disamakan: tasawuf dan mistik. Tasawuf, sebagai tradisi spiritual dalam Islam, sangat luas dan bervariasi. Ia bisa “sober” (keadaan dalam kesadaran penuh) seperti al-Junayd, yang menjunjung tinggi syariat dan disiplin batin; atau bisa “ecstatic” seperti al-Ḥallāj, yang mencampuradukkan pengalaman ekstase dengan klaim teologis ekstrem.(Al-Jauziyyah, 2020)
Mistik atau Mistisisme, menurut Anjum (mengikuti definisi klasik William James), adalah cara pengetahuan yang mengklaim otoritas dari pengalaman langsung dengan realitas Tuhan. Dalam pengertian ini, mistik tidak sekadar mengalami ekstase, tetapi juga menempatkan pengalaman pribadi sebagai sumber kebenaran yang setara atau bahkan melampaui wahyu.(Anjum, 2010)
Ibn al-Qayyim tidak menolak pengalaman spiritual. Namun ia menegaskan bahwa semua pengalaman ruhani harus tunduk pada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, pengalaman mistik tidak bisa menjadi epistemologi alternatif terhadap wahyu. Inilah letak utama kritiknya terhadap tren mistik dalam tasawuf.
Kritik terhadap Fanā’ dan Waḥdah al-Wujūd
Salah satu kritik utama Ibn al-Qayyim dalam Madārij adalah terhadap konsep fanā’ (peleburan diri) yang dianggap puncak dari perjalanan spiritual. Ia mengklasifikasikan fanā’ ke dalam tiga jenis; Pertama, Fanā’ Wujūdī. Penghapusan eksistensi selain Tuhan, doktrin yang menjadi basis dari wahdat al-wujūd. Ini ditolak keras sebagai sesat. Kedua, Fanā’ Syuhūdī. Kehilangan kesadaran terhadap selain Tuhan, umumnya dialami dalam ekstase, fanā’ dalam tingkat ini menurut Ibn al-Qayyim dimaafkan jika tidak disengaja. Ketiga, Fanā’ Irādī. Penghapusan kehendak selain kehendak Tuhan. Ini yang adalah model fanā’ yang dianggap oleh Ibn al-Qayyim dengan fanā’ yang sahih.
Menurut Ibn al-Qayyim, al-Harawī telah terjebak dalam fanā’ syuhūdī yang ambigu, namun para pensyarah/penafsirnya (seperti al-Tilimsānī) telah menyeretnya ke wilayah wujūdī dan monisme. Di sinilah Ibn al-Qayyim berperan sebagai penyelamat; menolak penafsiran ekstrem, kemudian menafsirkan ulang ungkapan-ungkapan al-Harawī, dan memasukkannya kembali ke dalam arus al-Qur’an dan Sunnah.(Anjum, 2010)
Salah satu gagasan yang dikritik tajam dalam Madārij adalah pendewaan terhadap żauq (rasa batin) dan ma‘rifah (pengetahuan intuitif) atas ilmu (‘ilm). Bagi Ibn al-Qayyim, ilmu tetap merupakan fondasi semua jalan menuju Tuhan. Ia mengecam orang-orang yang menganggap teks wahyu hanya sebagai simbol luar, dan mengklaim telah sampai pada “hakikat” tanpa melalui syariat. Ia menulis, “Mereka memperlakukan al-Qur’an seperti khalifah zaman ini, hanya disebut dalam khutbah, tapi tak berkuasa dalam pemerintahan.”
Bagi Ibn al-Qayyim, ilmu dari al-Qur’an dan Sunnah bukanlah hambatan spiritual, melainkan cahaya jalan. Tak ada pengetahuan ruhani sejati tanpa tunduk kepada teks.
Tafsir al-Fātiḥah sebagai Landasan Spiritual
Salah satu inovasi penting dalam Madārij adalah bagaimana Ibn al-Qayyim membuka kitabnya dengan tafsir atas surat al-Fātiḥah, bukan dengan ucapan para sufi. Ini bukan hal sepele. Ia ingin menunjukkan bahwa jalan spiritual sejati harus dimulai dari firman Tuhan, bukan dari retorika mistik.(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, 2019)
Baginya, ayat “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” (Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan) adalah fondasi semua maqām. Semua perjalanan spiritual harus bermuara pada dua hal; ‘ibādah dan isti‘ānah, penghambaan dan permohonan kepada Tuhan.(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, 2019)
Etika dalam Kritik: Menyalahkan Tanpa Menghina
Salah satu keunikan Ibn al-Qayyim dalam Madārij adalah etika kritiknya. Ia bisa sangat keras terhadap gagasan, tetapi tetap lembut terhadap pribadi. Ia menulis: “Syaikh al-Islām [al-Harawī] adalah orang yang kami cintai, tapi kebenaran lebih kami cintai.” Dalam dunia akademik dan spiritual modern yang mudah jatuh dalam polarisasi, gaya Ibn al-Qayyim ini adalah pelajaran penting; kritis, tetapi tidak sinis; tegas, tetapi tetap menghormati.(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, 2019)
Apa yang ditawarkan Ibn al-Qayyim bukanlah tasawuf tanpa rūḥ, tetapi spiritualitas yang ditambatkan kuat pada wahyu. Ia tidak menolak maqāmāt seperti sabar, tawakal, khauf (takut), maḥabbah (cinta), dan raja’ (harapan). Tetapi semua itu harus dijalani dengan kesadaran penuh terhadap rambu-rambu syariat.
Anjum menyebut pendekatan ini sebagai “tasawuf skripturalis”, yakni jalan menuju Tuhan yang tetap memelihara epistemologi kenabian. Dalam kerangka ini, cinta kepada Tuhan tidak menghilangkan ‘ubūdiyyah (penghambaan), dan ekstase tidak boleh mencederai keimanan rasional.(Al-Jauziyyah, 2020)
Di zaman ini, ketika tren spiritualisme populer sering mengagungkan “pengalaman pribadi” atas agama formal, kritik Ibn al-Qayyim terasa sangat relevan. Banyak yang mengklaim “telah menemukan Tuhan dalam hati” tetapi ‘menista’ syariat sebagai formalitas kaku. Di sinilah Ibn al-Qayyim mengingatkan kita bahwa agama bukan sekadar rasa, tapi juga petunjuk dari Pencipta.
Spiritualitas yang melepaskan diri dari wahyu akan berakhir dalam relativisme, bahkan narsisisme. Sebaliknya, tasawuf yang berpijak pada naṣṣ akan melahirkan keseimbangan antara akal dan rasa, antara lahir dan batin.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah melalui Madārij al-Sālikīn membuktikan bahwa seseorang bisa menjadi ‘ārif bi Allāh tanpa menjadi mistik. Ia membangun jalan sufistik yang terikat kuat pada wahyu, namun tetap lembut, mendalam, dan personal.
Melalui kritiknya yang tajam dan cinta yang lembut terhadap tokoh-tokoh terdahulu, ia mengajarkan pada kita satu pelajaran penting bahwa spiritualitas sejati bukanlah pelarian dari syariat, melainkan penyelaman lebih dalam ke dalamnya.
Dan di situlah mungkin, dalam bening tafsirnya terhadap kalimat “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn,” Ibn al-Qayyim telah merumuskan kembali hakikat tasawuf, penghambaan total dan permohonan tulus tanpa kehilangan akal, dan tanpa meninggalkan aturan Tuhan. (*)
