Tenangkan Hati, Jangan Semua Hal Dibawa Perasaan

www.majelistabligh.id -

*)Oleh:Fathan Faris Saputro
Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi PDM Lamongan

Di tengah kehidupan yang bergerak cepat dan penuh tekanan, banyak di antara kita merasa semakin mudah tersinggung. Sedikit ucapan orang bisa melukai. Isyarat kecil terasa seperti serangan. Hati menjadi terlalu peka, dan pikiran mudah tenggelam dalam dugaan.

“Jangan baper,” sering kita dengar sebagai candaan, tapi sesungguhnya ia menyimpan nasihat yang dalam. Bila semua hal dibawa ke hati tanpa penyaringan, hidup akan terasa berat dan penuh luka yang tidak perlu.

Islam mengajarkan kita untuk menjaga ketenangan hati, bahkan di tengah badai emosi. Kita diminta untuk tidak terlalu larut dalam perasaan, karena Allah telah menyiapkan cara bagi kita untuk menghadapi kehidupan dengan lapang dada. Salah satunya adalah kesabaran. Dalam Al-Baqarah: 155–157, Allah berfirman bahwa manusia akan diuji dengan rasa takut, kelaparan, kehilangan, dan musibah. Namun, ada kabar gembira bagi mereka yang bersabar.

Orang-orang yang mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” saat ditimpa musibah bukan sekadar pasrah. Mereka menunjukkan pemahaman bahwa semua yang dimiliki hanyalah titipan. Karena itu, mereka tidak mudah goyah ketika sesuatu diambil. Allah janjikan bagi mereka keberkahan, rahmat, dan petunjuk. Artinya, sabar bukan hanya tentang menahan marah atau kecewa, tapi sebuah bentuk kedewasaan spiritual yang menenangkan hati.

Sebaliknya, hati yang tidak dilatih untuk sabar akan mudah bawa perasaan. Sedikit gesekan bisa membuat kita tersulut. Padahal, tidak semua hal perlu ditanggapi dengan reaksi emosional. Banyak hal yang lebih baik dihadapi dengan diam dan doa. Sabar mengajarkan kita untuk tidak reaktif, melainkan reflektif. Ia adalah rem bagi perasaan agar tidak membabi buta.

Di sisi lain, kita juga perlu melatih diri untuk mencari hikmah dari setiap peristiwa. Dalam Al-Baqarah: 269, Allah mengingatkan agar kita mampu mengambil pelajaran dari apa yang terjadi. Hidup bukan tentang siapa yang melukai kita, tetapi tentang apa yang bisa kita pelajari dari luka itu. Saat hati sibuk merasa tersinggung, kita sering lupa untuk bertanya: “Apa yang ingin Allah ajarkan kepadaku lewat ini?”

Hikmah membuat kita tumbuh. Ia menjauhkan kita dari kebiasaan menyimpan sakit hati atas hal-hal kecil. Saat kita belajar mencari makna, bukan hanya menyimpan rasa, maka hati akan terasa lebih lapang. Dalam kritik ada pelajaran. Dalam konflik ada pertumbuhan. Dalam perbedaan, ada kesempatan memahami.

Namun, semua itu tidak akan bisa dicapai tanpa keikhlasan. Hati yang ikhlas tidak menggantungkan kebahagiaan pada pujian atau validasi dari manusia. Dalam surah Ash-Sharh: 5–6, Allah menjanjikan bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan—ketika usaha tidak dihargai, atau ketika niat baik disalahpahami—ikhlas adalah satu-satunya yang membuat hati tetap tenang.

Kita harus belajar bahwa kemuliaan sejati bukanlah diukur dari pengakuan orang, tetapi dari nilai amal itu sendiri di sisi Allah. Fokuslah pada amal, bukan pada komentar. Jangan biarkan hati remuk hanya karena ekspektasi yang tidak terpenuhi. Karena semakin kita ikhlas, semakin ringan pula langkah kita menjalani kehidupan.

Saat hati terasa sesak, jangan lari ke amarah. Larilah kepada Allah. Doa adalah pelukan paling lembut bagi jiwa yang terluka. Dalam Al-Baqarah: 186, Allah berfirman bahwa Dia dekat dan mengabulkan doa setiap hamba yang memohon kepada-Nya. Maka, ketika dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung sendiri, ucapkanlah pada-Nya semua yang tak mampu disampaikan pada siapa pun.

Doa bukan sekadar permintaan, tetapi juga bentuk penyembuhan. Ia menjadikan hati kembali jernih. Dunia sering kali terlalu ramai dan menuntut, tapi dalam sujud, kita menemukan ketenangan yang tidak bisa ditawar oleh apa pun. Allah lebih tahu isi hati kita daripada kita sendiri.

Cinta dan kasih sayang juga memainkan peran penting dalam menenangkan hati. Allah berfirman dalam Ar-Rum: 21 bahwa Dia menciptakan pasangan agar manusia merasa tenteram, dan di antara mereka ditanamkan kasih sayang. Tapi cinta yang tidak dijaga dengan kedewasaan akan mudah berubah menjadi luka.

Kita perlu belajar mencintai dengan sadar, bukan hanya dengan rasa. Sadar bahwa setiap manusia memiliki kekurangan. Bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kesempurnaan orang lain, tetapi pada kematangan hati sendiri. Saat kita mencintai dengan penuh kasih dan tanpa ekspektasi berlebihan, cinta akan menjadi pelindung, bukan penghancur.

Maka, jangan biasakan diri membawa perasaan pada setiap hal. Baper hanya akan membuat hati semakin mudah patah. Sebaliknya, latihlah diri untuk membawa hati—hati yang sabar, ikhlas, penuh hikmah, dan terbuka kepada Allah.

Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan luka kecil yang kita pelihara sendiri. Mari bersihkan jiwa dengan dzikir, tenangkan hati dengan syukur, dan hadapi hidup dengan pandangan yang lebih luas. Karena pada akhirnya, semua urusan hanya kembali kepada-Nya.

“Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang berserah diri menyerahkan segala urusan.” (QS. Al-Anfal: 64). (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search