Hisab Hakiki Wujudul Hilal adalah kriteria penetapan awal bulan hijriah yang digunakan Muhammadiyah.
Kriteria ini mensyaratkan tiga parameter. Pertama, ijtimak sebelum gurub. Kedua, bulan terbenam (moonset) setelah matahari terbenam (sunset). Ketiga, saat gurub hilal sudah wujud di atas ufuk.
Argumen metode dan kriteria ini tertera secara lengkap dalam buku berjudul Pedoman Hisab Muhammadiyah” ang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Sementara itu, Imkan Rukyat MABIMS adalah metode dan kriteria penetapan awal bulan hijriah yang digunakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dengan parameter ketinggian hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6.4 derajat.
Sayangnya, argumen metode dan kriteria ini tidak atau belum ditemukan secara tertulis dalam bentuk dokumen (buku) yang diterbitkan Kemenag.
Secara metode, Wujudul Hilal dan Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sama-sama berada dalam ranah hisab dan masing-masing memiliki argumen (dalil), dan saat yang sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keduanya kerap dikritik dan bahkan adakalanya saling mengkritik, dan keduanya merupakan produk ijtihad dan kesepakatan penggunanya masing-masing.
Ciri utama dari Wujudul Hilal adalah wujud (eksistensi) hilal di atas ufuk berapa pun dan bagaimanapun posisi dan ketinggiannya (asalkan positif di atas ufuk) yang sama sekali tidak mensyaratkan terlihat atau dilihat secara kasat mata.
Sementara ciri yang melekat pada Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sebagaimana dipraktikkan selama ini adalah keterlihatan atau kemungkinan terlihat hilal di atas ufuk baik dengan kasat mata atau dengan menggunakan alat (teropong), plus ditetapkan saat sidang isbat oleh Kementerian Agama RI.
Karena itu di sini tampak perbedaan dan pertentangan dua metode/kriteria ini.
Memang, secara metode baik Wujudul Hilal maupun Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sama-sama dalam ranah hisab. Namun, dalam penerapannya keduanya berbeda dalam implementasi dan pemahaman.
Wujudul Hilal sekali lagi sama sekali tidak mensyaratkan terlihat, harus dilihat, memungkinkan terlihat, dan seterusnya.
Sementara Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 mensyaratkan harus terlihat atau memungkinkan terlihat.
Karena itu, perubahan kriteria Imkan Rukyat MABIMS oleh Pemerintah (Kemenag) yang pada awalnya 2-3-8 menjadi 3-6.4 sejatinya masih dalam ranah rukyat dan imkan rukyat dan hanya sesuai bagi sesama pengguna metode rukyat dengan kriteria imkan rukyat.
Artinya, sama sekali tidak kompatibel dengan pengguna metode hisab dengan kriteria Wujudul Hilal.
Perubahan dan kesepakatan dari elongasi toposentrik kepada geosentrik yang dianggap sebagai perubahan besar juga sama sekali tidak memberi pengaruh bagi Wujudul Hilal.
Sebab, dalam Wujudul Hilal sama sekali tidak mempertimbangkan parameter elongasi bulan-matahari yang identik dengan fenomena ketampakan.
Oleh sebab itu meminta dan menuntut Muhammadiyah untuk menerima Imkan Rukyat 3-6.4 dengan elongasi geosentriknya merupakan sesuatu yang tidak logis.
Demikian lagi menuduh dan mengkambinghitamkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengedepankan ego dan mengabaikan ukhuwah Islamiyah hanya karena dan dengan alasan Pemerintah telah beralih kepada 3-6.4 plus perubahan elongasi geosentrik, merupakan sebuah tuntutan cacat nalar.
Jika demikian halnya, dapat saja diajukan tuntutan, mengapa bukan Wujudul Hilal saja yang digunakan Pemerintah?
Bukankah Wujudul Hilal juga berlandaskan Alquran dan Sunah?
Bukankah Wujudul Hilal juga produk ijtihad yang memiliki keunggulan dan kekurangan seperti halnya Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4?
Hal ini bisa saja diajukan Muhammadiyah sebagai ormas legal di negara kesatuan Republik Indonesia, namun kenyataannya Muhammadiyah tidak pernah melakukan hal itu.
Ini karena Muhammadiyah sadar bahwa hak semua elemen di negeri ini untuk berijtihad dan mengamalkan ijtihadnya.
Sudah seharusnya masalah ini dipahami oleh para pengkritik Wujudul Hilal. (*)
(Disarikan dari penjelasan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar yang dirilis muhammadiyah.or.id)