Gaza Mati Karena Kelaparan, Kemanusiaan Kita Ikut Mati Karena Diam

Gaza Mati Karena Kelaparan, Kemanusiaan Kita Ikut Mati Karena Diam
www.majelistabligh.id -

*)Oleh: M.Ainul Yaqin Ahsan, M.Pd
Anggota MTT PDM Lamongan

Malam 21 Juli 2025 menjadi saksi bisu dari jeritan sunyi rakyat Gaza yang terus-menerus ditinggalkan oleh dunia. Tagar #GazaMatiKarenaKelaparan bukanlah sekadar viral sesaat di linimasa media sosial. Ia adalah alarm keras dari sebuah genosida pelan-pelan, senyap, dan mematikan, di mana yang dihancurkan bukan hanya bangunan, tetapi juga harapan, kemanusiaan, dan akal sehat kita semua.

Lebih dari 620 hari pengepungan, Gaza diperlakukan layaknya penjara terbuka terbesar di dunia. Satu-satunya akses bantuan kemanusiaan adalah lewat dua jalur: Gaza Utara melalui CHCO milik kerajaan Yordania yang izinnya tetap dikendalikan oleh Israel dan Gaza Tengah melalui Gaza Humanitarian Fund yang pengadaannya justru diatur oleh penjajah sendiri. Bantuan yang masuk? Tak lebih dari 20-30 truk per hari, untuk populasi lebih dari 2,5 juta jiwa. Angka ini tak masuk akal. Satu truk untuk puluhan ribu perut lapar?

Foto-foto bayi Gaza yang tinggal tulang terbungkus kulit, serta para jurnalis yang hanya minum air dan garam sebagai bentuk protes, bukan lagi sekadar kabar memilukan, mereka adalah tamparan keras pada nurani dunia yang kini tertidur dalam selimut diplomasi kosong dan retorika basa-basi.

Gaza, Bukan Hanya Tentang Hamas
Perlu ditegaskan bahwa Gaza bukan hanya soal Hamas. Rakyat Gaza bukan 100% bagian dari kelompok bersenjata yang kerap dijadikan alasan untuk menjustifikasi blokade. Mereka adalah anak-anak yang ingin sekolah, para ibu yang ingin menanak nasi, dan ayah-ayah yang ingin bekerja. Mayoritas mereka adalah rakyat biasa yang kini dijatuhi hukuman kolektif hanya karena mereka hidup di tanah yang menolak tunduk.

Namun sayangnya, banyak negara-negara Islam justru memilih diam. Ada yang berdalih tak mendukung gerakan H (Hamas), namun pada saat yang sama, juga tidak menolong Gaza. Apakah karena perbedaan ideologi, lalu boleh membiarkan satu generasi dibunuh perlahan oleh kelaparan dan penyakit?

Tidak semua negara berani bersuara. Bahkan lebih menyedihkan lagi, sebagian negara Arab justru dicurigai ikut dalam upaya membenturkan rakyat Gaza dengan pejuang mereka sendiri. Dengan membuat perang ini berlarut-larut, masyarakat didorong agar membenci perlawanan. Framing bahwa Hamas adalah biang kehancuran Gaza kini makin massif. Padahal, rakyat Gaza tetap berdiri teguh pada jalan perlawanan, sekalipun mereka bukan anggota Hamas.

Dunia yang Menutup Mata
Lebih memuakkannya adalah peran PBB yang sejatinya adalah wasit kemanusiaan, kini justru menjadi organisasi tanpa nyawa. Tak ada kehadiran pasukan penjaga perdamaian, tak ada pengawalan untuk bantuan pangan, dan tak ada suara tegas terhadap kejahatan terang-terangan yang dilakukan oleh penjajah.

PBB, sayangnya, telah berubah dari simbol harapan menjadi alat status quo kekuasaan negara-negara besar. Mereka bicara tentang hukum internasional, tapi menutup mata terhadap ratusan ribu kematian yang tak sempat ditangisi. Mereka bicara resolusi, tapi mengendapkannya dalam meja bundar yang tak pernah bulat niatnya.

Indonesia dan Kita Semua
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, Indonesia memang tidak memiliki perbatasan langsung dengan Gaza. Namun keterbatasan geografis tak boleh menjadi alasan untuk turut membungkam suara dan aksi. Kita bisa terus menggalang dana, mengirim relawan, dan yang terpenting: menekan diplomasi melalui jalur Mesir dan Yordania, dua negara yang memiliki kunci utama koridor kemanusiaan.

Kita tidak harus membawa senjata untuk ikut berperang, tetapi diam kita adalah izin diam-diam terhadap kejahatan itu sendiri.

Kita bisa memilih: menjadi generasi yang tercatat di sejarah sebagai pemilik nurani, atau menjadi generasi pengecut yang lebih sibuk menyukai unggahan selebriti dibandingkan menyuarakan penderitaan sesama manusia.

Harapan yang Tak Pernah Mati
Sebagai penutup, sebuah orasi:
“Ketika malam sudah semakin gelap, berarti sebentar lagi akan terbit matahari.”

Dan memang, Gaza telah lama hidup dalam malam yang pekat. Tapi justru di saat seperti inilah dunia diuji. Apakah kita akan menjadi cahaya yang menembus kegelapan, atau justru menjadi bayang-bayang yang menyembunyikan cahaya itu sendiri?

Gaza mungkin mati karena kelaparan, tapi jangan biarkan kemanusiaan kita ikut mati karena diam. (*)

Tinggalkan Balasan

Search