Generasi Z di Tengah Peradaban yang Terkubur Tikus-Tikus Politik

Generasi Z di Tengah Peradaban yang Terkubur Tikus-Tikus Politik
*) Oleh : Nashrul Mu'minin
 Content writer Yogyakarta
www.majelistabligh.id -

Indonesia hari ini, Agustus 2025, terasa seperti kapal besar yang oleng di lautan gelap. Di tengah semarak perayaan kemerdekaan yang harusnya dipenuhi optimisme, bendera merah putih berkibar layaknya panji kebanggaan. Namun sayang, suasana justru tercampur dengan ironi: anime bendera ala One Piece di jalanan menjadi simbol harapan palsu, seakan kita hanya berlayar mencari harta karun tanpa arah jelas.

Negeri yang merdeka dengan darah dan air mata para pahlawan kini seperti tenggelam dalam labirin korupsi, ricuh sosial, dan perebutan kekuasaan.

Fenomena politik Indonesia saat ini lebih banyak dihiasi kisah tikus-tikus koruptor yang kenyang memakan uang rakyat. Mereka bersembunyi di balik jas rapi dan senyum manis, padahal rakyat di bawah menjerit karena harga kebutuhan pokok terus melambung.

Sosial humaniora kita mengalami keretakan, ketika hukum tak lagi memihak rakyat kecil, dan kekuasaan hanya menjadi alat segelintir elit. Tak jarang, rakyat tumpah ke jalan, melampiaskan emosinya karena ketidakadilan yang terus berulang. Ricuh demi ricuh di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang seharusnya menjadi poros budaya dan kebijaksanaan, kini justru sering menjadi cermin kemarahan rakyat yang muak dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Indonesia gelap. Gelap bukan karena hilangnya listrik, tapi karena nurani bangsa terkubur oleh kerakusan. Nilai-nilai kemerdekaan yang seharusnya menjadi mercusuar, kini diperlakukan seperti kertas usang yang tak lagi dibaca. Ketika rakyat butuh pemimpin yang jujur, yang lahir justru aktor politik yang pandai bersandiwara. Ketika rakyat butuh solusi, yang hadir justru janji-janji kosong yang menguap begitu saja setelah kursi empuk diduduki.

Di sinilah letak peran penting Generasi Z. Generasi yang lahir di era digital, tumbuh dengan informasi tak terbatas, sekaligus diuji dengan banjir hoaks dan propaganda. Mereka tidak bisa hanya menjadi penonton dari drama politik yang murahan. Generasi Z harus bangkit menjadi penopang peradaban dan kemajuan Indonesia, bukan sekadar pewaris, tetapi juga pengoreksi sejarah.

Mereka memiliki energi kreatif, keberanian untuk bersuara di ruang publik, serta kecakapan mengolah teknologi menjadi senjata perlawanan terhadap kebusukan sistem. Generasi Z mampu menggerakkan massa dengan satu unggahan, membongkar kejanggalan dengan data, serta menyalakan kesadaran kolektif yang selama ini dipadamkan oleh penguasa. Namun, potensi ini tidak boleh berhenti pada sekadar aksi di media sosial. Mereka harus membumikan idealisme ke dalam gerakan nyata—mengawal demokrasi, menolak penyalahgunaan kekuasaan, serta menghadirkan politik yang berorientasi pada rakyat, bukan pada perut pribadi.

Generasi Z juga dituntut untuk memulihkan wajah sosial-humaniora Indonesia yang penuh luka. Mereka bisa menjadi jembatan antara teknologi dan kemanusiaan, antara digitalisasi dan nilai luhur bangsa. Mereka tidak boleh terjebak dalam sikap apatis, karena diam sama saja membiarkan tikus-tikus politik semakin leluasa menggerogoti negeri ini. Dengan pendidikan, kreativitas, dan moralitas, Generasi Z bisa menjadi pagar yang melindungi bangsa dari kehancuran yang lebih dalam.

Menurut saya, Indonesia saat ini memang berada dalam kegelapan, penuh ricuh, penuh kesedihan. Namun kegelapan bukanlah akhir, melainkan tanda bahwa cahaya akan segera dibutuhkan. Generasi Z adalah cahaya itu—cahaya yang bisa menembus kabut hitam korupsi, kerakusan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika mereka berani melangkah, bukan hanya sebagai penonton tetapi sebagai aktor utama perubahan, maka tikus-tikus politik tak lagi punya ruang. Indonesia yang gelap akan kembali bercahaya, bukan dengan janji manis, tetapi dengan kerja nyata generasi muda yang menolak tunduk pada kebusukan zaman. (*)

Tinggalkan Balasan

Search