Beberapa pekan terakhir, saya sempat bertemu kembali dengan beberapa teman lama, satu per satu, di waktu dan tempat yang berbeda.
Meski setiap perjumpaan diawali dengan senyum dan cerita ringan, namun ujungnya pada curahan hati tentang hidup yang tak lagi mudah.
Salah satu dari mereka bercerita bahwa ia baru saja terkena “badai layoff”, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang kini menjadi momok menakutkan di banyak sektor industri.
Dia tampak berusaha tegar. Berupaya tetap semangat. Namun di balik kata-katanya, tersimpan kepedihan yang sulit disembunyikan.
Teman lainnya menimpali dengan kisah serupa. Usahanya lagi lesu. Pemasukan menurun drastis. Beberapa event yang diikuti hasilnya tak seperti yang di harapkan.
Saya tentu prihatin dan berusaha menaruh empati. Meski saya belum pernah mengalami PHK secara langsung, saya pernah berada di titik yang sama: merasa tidak punya pegangan. Hidup terasa menggantung. Hari-hari dijalani tanpa arah yang jelas.
Rasa cemas akan masa depan. Perasaan tidak berguna. Bahkan rasa iri kepada orang lain yang tampaknya lebih baik keadaannya. Itu semua pernah menguasai batin saya.
Saya paham betul, betapa menyiksanya berada dalam posisi seperti itu. Perasaan tak berdaya. Kehilangan arah. Kecemasan akan hari esok seolah datang bersamaan tanpa memberi ruang untuk bernapas.
Hidup terasa begitu sempit. Seakan semua pintu tertutup rapat. Tak ada arah yang jelas untuk dituju.
Pikiran dan hati sering kali suntuk. Diliputi kegelisahan yang tak berujung. Emosi pun mudah naik. Seolah jiwa kehilangan keseimbangan.
***
Di tengah krisis yang melanda berbagai sisi kehidupan, dari ekonomi yang goyah, tekanan sosial yang makin rumit, hingga masa depan yang terasa kabur, begitu banyak orang terjebak dalam pusaran keluh kesah.
Suara yang paling sering terdengar bukan lagi tentang rencana atau harapan, melainkan tentang ketidakpuasan dan kekecewaan.
Banyak yang merasa hidup ini terlalu berat. Dunia dianggap tidak adil. Seolah-olah jalan ke depan sudah tertutup rapat.
Kita memang tidak boleh menutup mata dari kenyataan bahwa hidup hari ini tidak mudah. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana cara kita merespons kesulitan tersebut.
Mengeluh itu manusiawi, tetapi menjadikannya kebiasaan adalah jebakan batin yang melemahkan.
Keluhan yang terus-menerus membuat langkah terasa lebih berat. Pandangan jadi sempit. Semangat hidup perlahan sirna.
Allah SWT telah mengingatkan kita agar tidak berputus asa:
“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Keluhan-keluhan itu seringkali lahir karena kita terlalu fokus pada kekurangan. Kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Mengukur nasib dari standar-standar luar yang belum tentu sesuai dengan diri kita.
Kita lupa bahwa setiap orang punya ujian masing-masing. Yang membedakan hanyalah cara kita menjalaninya.
Esai ini hadir sebagai ajakan untuk mengakhiri keluh kesah dan menyalakan kembali api semangat.
Tidak semua hal berjalan seperti yang kita rencanakan. Tapi bukan berarti tidak ada harapan. Justru dalam krisis, pintu-pintu keberhasilan terbuka, tetapi hanya untuk mereka yang bersedia mencarinya. Dan mencari berarti mencoba.
Sudah saatnya kita berhenti menengok ke belakang dengan penyesalan. Atau menatap ke depan dengan ketakutan.
Yang kita butuhkan adalah satu langkah kecil untuk mencoba lagi. Sekalipun pernah gagal. Sekalipun belum terlihat hasilnya.
Rasulullah saw bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Pada masing-masing ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan lemah!” (HR. Muslim)
Thomas Edison, yang gagal ribuan kali sebelum menemukan bola lampu, tidak menyebut dirinya gagal. Ia berkata, “Saya hanya menemukan ribuan cara yang tidak berhasil.” Ia tidak mengutuk hidup, tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapa pun. Ia mencoba — dan mencoba lagi.
Kita pun bisa seperti itu. Kita perlu membangun kembali cara pandang bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses.
Allah tidak menilai hasil, tapi usaha yang sungguh-sungguh. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Bersyukur bukan berarti pasrah. Bersyukur adalah mengenali apa yang kita punya saat ini dan menjadikannya bahan bakar untuk berusaha lebih kuat.
Bersyukur juga menjadi jembatan untuk menerima diri, sambil tetap bekerja keras menjadi versi terbaik dari diri kita.
Rasulullah saw bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian, dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi dari kalian. Hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim)
***
Mari, berhenti mengeluh. Mari, mulai lagi. Dunia tidak berubah karena kita marah padanya. Tapi dunia bisa berubah ketika kita berani melangkah, walau dengan langkah kecil, asal terus ke depan.
Saya belajar satu hal penting: bahwa keluhan tidak pernah membawa kita ke mana-mana. Mengeluhb hanya membuat kita semakin tenggelam dalam kegelapan.
Sebaliknya, saat kita mulai membuka diri untuk bersyukur. Sekecil apa pun nikmat yang masih kita miliki, kita sedang membuka jalan bagi harapan.
Kita mulai menyadari bahwa selalu ada yang bisa diperbuat. Selalu ada pintu yang bisa diketuk, dan selalu ada kekuatan yang bisa digali. Ini jika kita bersedia mencoba.
Karena itu, jangan menyerah. Jangan berhenti. Tidak ada kegagalan sejati di dunia ini, yang ada hanyalah kesempatan untuk mencoba sekali lagi.
Chairul Tanjung, pemilik CT Corp, dalam berbagai kesempatan yang saya ikut, mengatakan kalau kita gagal, kita harus cari tahu kenapa gagal, sebabnya apa.
“Inilah proses, sampai akhirnya tak ada lagi yang bisa buat kita gagal. Gagal ya bangun lagi, sampai gagalnya bosan datang ke kita,” katanya.
Maka, kalau kita merasa sudah mencoba berkali-kali, maka cobalah lagi dengan cara baru, dengan niat yang lebih jernih, dan semangat yang diperbarui.
Krisis bukan akhir dari segalanya. Krisis adalah seleksi alam yang menyisakan mereka yang tangguh. Dan ketangguhan itu bisa dimulai dengan satu keputusan sederhana: berhenti mengeluh, dan mulai mencoba lagi. (*)